Kupang (ANTARA News) - Pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum menilai usaha penyelundupan manusia (people smuggling) ke Australia merupakan sebuah pilihan menjanjikan bagi nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Saya tidak berada pada posisi untuk mendukung langkah (people smuggling), tetapi setelah perairan Laut Timor tercemar akibat meledaknya sumur minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009, para nelayan kita semakin sulit mendapatkan ikan. Pilihan berikutnya adalah menyelundupkan manusia ke Australia," katanya di Kupang, Rabu.
Wetan Songa yang juga staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal kecenderungan nelayan NTT menyiapkan fasilitas perahunya untuk menyelundupkan manusia ke Australia, ketimbang menggunakannya untuk mencari ikan.
Ia mengatakan masalah "people smuggling" bukanlah sebuah pilihan utama bagi nelayan NTT, tetapi faktor pencemaran yang mendorong mereka untuk melakukan aksi penyelundupan manusia ke Australia, karena tawarannya berkisar antara Rp10 juta-Rp100 juta tergantung dari berapa jumlah orang yang hendak diseberangkan secara ilegal ke negeri Kanguru.
"Masalah utamanya ada pada persoalan pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009. Kondisi inilah yang mendorong nelayan kita mencari pilihan baru, karena bagaimana pun mereka juga punya keluarga yang harus dinafkahi," katanya.
Menurut Wetan Songa masalah pencemaran tersebut seharusnya segera dituntaskan oleh Indonesia dan Australia serta perusahaan pencemar, PTTEP Australasia untuk memurnikan kembali ekosistem dan ekologi di Laut Timor yang tercemar akibat tumpahan minyak dan zat timah hitam berbahaya serta kondesat lainnya.
Kondisi buruk di Laut Timor itu diperparah lagi dengan zat pelarut berbahaya (dispersant) yang disemprotkan Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA) untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut Timor.
"Sudah saatnya dilakukan sebuah penelitian ilmiah yang independen dan terbuka oleh kedua negara (RI-Australia) serta perusahaan pencemar PTTEP Australasia dan masyarakat Timor bagian barat NTT yang diwakili oleh Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang terkenal sangat getol dalam memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat NTT selama ini di Laut Timor.
Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) H Mustafa juga mengakui bahwa belakangan ini para nelayan suka menyelundupkan manusia ke Australia, karena imbalan yang diberikan oleh para imigran gelap, jauh lebih menjanjikan ketimbang hasil yang diperoleh dari menangkap ikan.
Mustafa menegaskan sejak wilayah perairan Laut Timor tercemar minyak mentah dan zat timah hitam berbahaya akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, penghasilan para nelayan turun drastis karena semakin sulit mendapatkan ikan di Laut Timor yang menjadi sumber kehidupan nelayan selama ini.
Ia mengatakan dalam tahun ini belum ada anggota Antralamor yang ditangkap patroli pengamanan pantai Australia atas tuduhan menyelundup manusia ke negeri Kanguru, kecuali pada 2010.
"Tahun lalu, ada tiga orang anak buah saya yang ditangkap dan saat ini masih berada di penjara Brisbane atas tuduhan menyelundupkan manusia ke Australia. Mereka mendapat tawaran yang cukup menggiurkan sehingga memilih jalan untuk melakukan tindakan tersebut," katanya.
Menurut Mustafa, tawaran yang dilontarkan para imigran gelap kepada para pemilik perahu berkisar antara Rp10 juta sampai Rp100 juta untuk mengantar mereka ke Australia secara ilegal.
"Harga yang ditawarkan itu disesuaikan dengan jumlah imigran yang hendak diseberangkan secara ilegal ke Australia. Kalau mereka dalam jumlah banyak dengan menggunakan perahu berukuran besar, harganya bisa mencapai Rp100 juta," katanya menjelaskan.
Ia mengatakan jalan pintas yang dilakukan nelayan NTT yang tergabung dalam wadah Antralamor itu, karena sudah semakin sulit mendapatkan ikan di Laut Timor yang menjadi sumber kehidupan para nelayan selama ini.
Pejabat Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba Kupang John Leka yang dihubungi secara terpisah juga mengakui hasil tangkapan nelayan Kupang dari Laut Timor mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni dari 1.736.155 ton pada 2008 menjadi 988.870 ton pada 2009.
Sementara pada periode 2010, tambahnya, hasil tangkapan nelayan terus menurun hingga posisi 812.921 ton, sedang hasil tangkapan nelayan hingga Mei 2011 baru mencapai angka 100 ton lebih.
Leka mengatakan turunnya hasil tangkapan nelayan tersebut merupakan dampak dari pencemaran minyak di Laut Timor, akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
"Ini keluhan umum yang disampaikan oleh para nelayan kita saat mendaratkan ikannya di pangkalan Oeba Kupang," demikian John Leka.
Wetan Songa mengatakan nelayan NTT yang terlibat dalam kasus "people smuggling" tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, karena masalah pencemaran minyak di Laut Timor yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan tersebut untuk bisa menafkahi keluarganya secara berkelanjutan.
"Mereka adalah nelayan tradisional yang hanya mengadalkan hidupnya di Laut Timor. Jika wilayah perairan yang menjadi ladang kehidupan tercemar, langkah pintas yang mereka lakukan adalah dengan menyelundupkan manusia ke Australia, apalagi ditawar dengan harga yang mahal," demikian Wilhelmus Wetan Songa.(T.L003/S019)