Makassar (Antara News) - Kebersihan adalah pangkal kesehatan merupakan slogan yang tepat diterapkan dalam kehidupan masyarakat baik di kota hingga ke pelosok pedesaan dan pesisir.
Salah satu indikator yang terkait dengan masalah kesehatan adalah penanganan buang air besar sembarangan (BABS). Hal itu tidak semudah yang dibayangkan untuk menjadi produk kebijakan.
"Untuk penanganan BABS, Sulawesi Selatan sudah masuk lima besar nasional, kendati demikian masih perlu bekerja keras untuk mencapai target bebas BABS (Open Defecation Free/ODF) untuk 24 kabupaten/kota," kata Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Dr dr H Rahmat Latief di Makassar.
Berdasarkan data Dinkes Sulsel diketahui, pada periode 2012 telah ditargetkan 60 persen dari total delapan juta jiwa penduduk Sulsel tidak melakukan BABS lagi. Sehingga jika itu terus ditingkatkan, maka dapat mewujudkan Stop BABS 2015 sesuai target nasional.
Untuk mencapai target tersebut, Rahmat mengatakan, perlu kerjasama dan dukungan semua pihak. Apalagi untuk mencapai tujuan itu, pemerintah daerah sudah membangun kemitraan dengan sejumlah lembaga seperti Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH), United State Agency for International Development (USAID) dan the United Nations Children`s Fund (UNICEF).
Menurut dia, Program Kesehatan Gratis yang dicanangkan sejak 2008 di Sulsel, tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan sosialisasi dan pelaksanaan Stop BABS di 24 kabupaten/kota.
"Program Kesehatan Gratis yang sudah menghabiskan anggaran sedikitnya Rp350 miliar ini tidak ada gunanya jika Stop BABS tidak dilaksanakan," katanya.
Dia mengatakan, pentingnya masing-masing keluarga untuk tidak BABS, karena itu akan berpengaruh pada kesehatan pribadi dan lingkungan.
Hal tersebut telah dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) bahwa melalui program Stop BABS mampu menurunkan sekitar 94 persen kasus kesakitan diare.
Menurut Sekretaris Pokja AMPL Nasional Maraita Listyasari beberapa waktu lalu di Makassar, selain menurunkan terjadinya kasus kesakitan diare di lapangan, juga memberikan sumbangan terhadap kehadiran siswa di sekolah.
Dia mengatakan, program Stop BABS merupakan salah satu bentuk preventif terjadinya penyakit menular seperti diare, ISPA dan sebagainya.
"Karena itu, stop BABS yang merupakan bagian dari sanitasi yang baik harus terus didorong, mengingat masih banyak masyarakat yang belum menyadari dan menjadikan itu sebagai urusan pribadi," katanya.
Padahal perlu disadari bahwa persoalan tersebut bukan menyangkut urusan pribadi, karena dapat mempengaruhi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah melalui APBN sudah mulai memperlihatkan dukungan dari segi anggaran untuk program sanitasi.
Sebagai gambaran, anggaran sanitasi pada periode 2005 dialokasikan hanya 0,4 persen dari total APBN, kemudian meningkat menjadi 1,2 persen dari total APBN 2012.
Pendampingan
Salah satu upaya mendorong program Stop BABS di Sulsel, IUWASH bekerjasama dengan lembaga donor USAID terus melakukan pendampingan terhadap masyarakat sasaran yang masih rendah tingkat kesadarannya menjaga kebersihan lingkungan.
"Dalam melakukan pendampingan itu, kami bekerjasama dengan pemerintah setempat, termasuk para pemuka dan penggerak lembaga masyarakat," kata Regional Coordinator South Sulawesi and Eastern of Indonesia IUWASH Budi Raharjo di Makassar.
Dia mengatakan, target untuk pengadaan fasilitas sanitasi di wilayah kerjanya, diharapkan dapat dinikmati sekitar 200 ribu orang. di wilayah kerjanya.
Khusus di Sulsel, lanjut dia, intervesi pengadaan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) telah diterapkan di beberapa daerah di antaranya Kabupaten Maros, Jeneponto, Takalar, dan Kota Makassar.
Pada periode 2013 terdapat penambahan tiga wilayah dampingan IUWASH di Sulsel, yakni Kabupaten Sidrap, Pinrang, dan Bantaeng. Sedang khusus di Kota Makassar, IUWASH telah mendorong pembangunan 40 lokasi instalasi pengelolaam air limbah (IPAL).
"Diharapkan pada 2014 sudah ada 80 lokasi instalasi pengolahan air limbah secara komunal di Makassar," kata Budi.
Mengenai pentingnya pendampingan untuk memotivasi masyarakat membuat jamban pribadi ataupun pengolahan limbah secara komunal, lanjut dia, karena masih ada sekitar 40 persen masyarakat di Sulsel yang BABS dengan membuang limbah kotorannya ke tanah.
Karena itu, IUWASH memfokuskan pada daerah yang dinilai masih banyak masyarakatnya yang BABS diantaranya Kabupaten Jeneponto yang terletak di ujung bagian Barat wilayah Provinsi Sulsel yang jarak tempuhnya dari Kota Makassar sekitar 90 kilometer.
Kabupaten Jeneponto memiliki luas wilayah 737,64 km2 dan berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa. Namun akses pemanfaatan sanitasi di daerah yang dijuluki "Butta Turatea" ini baru 56,45 persen dari total 87.500 kepala keluarga.
Kondisi itu diakui Bupati Jeneponto H Radjamilo, masih jauh dari target nasional yang ingin mencapai MGD`s 2015 yaitu 68,87 persen. Sementara akses sanitasi itu salah satu indikatornya adalah kepemilikan jamban, sehingga cukup mempengaruhi indikator pencapaian target nasional.
Untuk tingkat layanan air bersih di Jeneponto, lanjut dia, baru mencapai 66,13 persen atau masih dibawah target nasional 68,87 persen.
Akses sanitasi maupun penyediaan air bersih itu turut mempengaruhi angka kesakitan masyarakat Jeneponto, hal itu terlihat pada data Dinkes Jeneponto.
Pada periode 2011 tercatat penyakit diare mencapai 6.711 kasus, cacingan 1.057 kasus, Dysentri 1.915 kasus, Typus/Kolera 2.794 kasus, ISPA 608 kasus, DBD 67 kasus, kasus Malaria Tropika 226 kasus dan beberapa penyakit lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemkab Jeneponto sudah menetapkan 14 desa/kelurahan yang tersebar di 11 kecamatan sebagai target bebas BABS.
Desa Percontohan
Satu dari 12 desa/kelurahan yang tersebar pada 11 kecamatan di Jeneponto, Sulsel yang menjadi target bebas BABS adalah Desa Bulobulo, Kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto.
Desa yang terdiri dari tiga dusun dengan 300 kepala keluarga (KK) itu ditetapkan menjadi daerah percontohan bebas BABS, karena 100 persen warganya sudah menggunakan jamban.
"Ini karena adanya pendekatan dan intervensi kontinyu dari pendamping dan pemerintah setempat, sehingga Desa Bulo-Bulo 100 persen bebas BABS," kata Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Arungkeke, Kabupaten Jeneponto Mansyur.
Menurut dia, untuk mencapai hal itu tidaklah mudah, karena butuh waktu dan perjuangan untuk menyosialisasikan dan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Salah satu upaya yang dilakukan dengan terus-menerus mengimbau masyarakat untuk membangun jamban keluarga, baik melalui ceramah di sela-sela shalat, hajatan ataupun melakukan pendekatan personal.
Bagi yang belum mampu membangun jamban, lanjut dia, maka masyarakat membantu dengan swadaya dan swadana. Selain itu, bagi yang cukup bandel, maka namanya akan diumumkan setiap selesai shalat Jumat di masjid.
Hal itu dinilai akan memberikan rasa malu, sehingga yang belum memiliki jamban akan terpacu membangun jamban meskipun dengan bangunan yang cukup sederhana.
Salah satu contoh, jamban milik salah seorang warga Desa Bulobulo Suriani (40) yang hanya beratap seng bekas dan berlantai campuran semen dan pasir saja, tanpa lantai keramik.
"Setelah memiliki jamban, keluarga kami lebih hidup teratur dan sehat," kata ibu dari tiga orang anak dan seorang cucu ini.
Kondisi serupa juga dialami warga pada dua lokasi pilot proyek USAID - IUWASH di Jeneponto yakni Kelurahan Empoang Utara, Kecamatan Binamu dan Desa Jombe, Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto.
Program STBM pada dua lokasi itu sudah mulai dijalankan sejak 2007 dengan bermitra dengan pemerintah daerah setempat.
Menurut Lurah Empoang Utara, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulsel, Zainal Lampiri, salah satu pendekatan yang dilakukan untuk memotivasi warga membangun jamban adalah cukup menyiapkan lubang.
"Untuk fasilitas jambannya akan dibantu, khususnya yang masuk kategori masyarakat miskin," katanya.
Selain itu, lanjut dia, juga diterapkan semacam sanksi bagi yang belum memiliki jamban yakni tidak diberikan izin keramaian atau pesta, termasuk izin nikah, hingga keluarga tersebut sudah membangun jamban.
Kini, sebagian warga Jeneponto sudah dapat mengakses sanitasi dengan meninggalkan pola hidup yang lama yang jauh dari pola hidup bersih dan sehat.
Hal itu tergambar dari data Pemkab Jeneponto yang melansir bahwa pada 2012 sudah ada enam desa yang bebas BABS. Sementara pada 2013 ditargetkan ada 18 desa lagi yang masuk kategori bebas BABS.
Upaya mencapai target bebas BABS di Jeneponto maupun daerah lainnya di Sulsel sesuai dengan target MGD`s 2015, memang masih butuh perjuangan yang panjang, karena mengubah pola pikir dan pola hidup masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan. (Editor : EK Sinoel)
Berita Terkait
Membangun embung demi pertanian produktif dan kesejahteraan petani
Rabu, 27 Maret 2024 20:10 Wib
Dinas TPHP Gowa perketat penerapan aturan perlindungan lahan pertanian
Rabu, 27 Maret 2024 2:02 Wib
Sepekan Ramadhan, 12 unit rumah terbakar dan satu orang tewas di Makassar
Rabu, 20 Maret 2024 21:22 Wib
83 pegawai Kemenkumham Sulsel ikuti ujian dinas dan penyesuaian Ijazah
Rabu, 20 Maret 2024 16:44 Wib
Dinas PUPR Sulbar: Ranperda jasa konstruksi untuk bangun pengusaha
Minggu, 17 Maret 2024 1:59 Wib
Pemkab Bone bekerja sama dengan TNI cetak 2.070 ha lahan sawah gogo
Sabtu, 16 Maret 2024 1:48 Wib
BI Sulsel optimistis panen padi di Wajo dapat tekan harga beras
Jumat, 15 Maret 2024 2:21 Wib
Dinas Kesehatan Bulukumba mencatat 130 kasus DBD
Senin, 11 Maret 2024 22:08 Wib