Negara Demokrasi
Sejak reformasi dihembuskan tahun 1998, Indonesia menempatkan diri sebagai negara demokrasi. Tidak tanggung-tanggung, walaupun dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia, demokrasi yang dipilihnya pun adalah demokrasi langsung. Setiap warga negara yang telah memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih wakil atau pemimpinnya di legislatif dan eksekutif.
Pemilihan “demokrasi†sebagai mekanisme menjaring pimpinan negara/daerah didasarkan pada pemikiran bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama. Setiap warga negara memiliki satu suara untuk menentukan kepala negara/daerah dan wakil rakyat di legislatif.
Dasar pemikiran yang positif tersebut seringkali kontras apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang memiliki pemahaman dan tingkat kesejahteraan yang berbeda-beda.
Seorang professor memiliki hak pilih yang sama dengan seorang pengemis walaupun professor tersebut telah bersusah payah melakukan penelitian dan mengeluarkan teori demi kemakmuran bangsa di negeri ini.
Hal ini telah menjadi pilihan bangsa ini, setiap warga negara memiliki hak pilih yang sama, tidak peduli kemampuan intelektual, sosial, ekonominya, dan status lainnya.
Pemilihan umum untuk menentukan pemimpin negara/daerah dan wakil rakyat di legislatif dilaksanakan setiap lima tahun.
Penyelenggaraan pemilihan umum sering juga disebut dengan “pesta demokrasi†karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Kata “pesta†yang identik dengan berlimpahnya kesenangan. Bagi sebagian masyarakat, pesta demokrasi kadang-kadang dimaknai dengan banyaknya “rezeki nomplok†dari pihak-pihak yang hendak dipilih.
Mereka tidak banyak melakukan pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan yang sangat menentukan bagi kehidupan bangsa lima tahun ke depan. Pertimbangan yang digunakan simple dan pragmatis, siapa yang dapat memberikan uang lebih besar pada saat sebelum pemilihan/pencoblosan, maka calon inilah yang secara nyata mereka anggap mampu meningkatkan kesejahteraan mereka walaupun hanya sehari.
Kehidupan lima tahun berikutnya telah tergadaikan dengan uang yang hanya cukup untuk makan beberapa hari saja.
Tidak demikian halnya bagi sebagian warga negara. Mereka memilih pemimpin negara/daerah melalui pertimbangan yang matang sehingga pemimpin terpilih mampu mengantarkan kepada kehidupan yang lebih baik.
Pemilih seperti ini adalah masyarakat yang menggunakan akal dan pikirannya dalam menentukan pilihan. Kelompok masyarakat kedua ini diharapkan semakin banyak sehingga dapat diharapkan dapat menentukan pemimpin yang cerdas dalam mengambil keputusan demi kepentingan rakyak.
Money Politic
Kondisi kesejahteraan yang belum mapan dan pendidikan yang belum ideal seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam mendulang suara dengan cara yang tidak semestinya.
Money politic adalah kata yang sering didengar di berbagai media massa pada saat pesta demokrasi digelar.
Masyarakat telah memiliki anggapan bahwa jangan berharap untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin apabila tidak memiliki dana yang banyak dan kuat. Apabila satu suara dihargai seratus ribu rupiah, maka tinggal mengalikan angka tersebut dengan jumlah minimal suara yang harus diperoleh. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan atribut kampanye dan keperluan lainnya.
Lebih ironis lagi sebagian masyarakat memandang bahwa money politic adalah lumrah dan halal. Bahkan dengan dalih pesta demokrasi, maka mereka anggap sudah semestinya apabila para calon pemimpin dan calon anggota legislatif membagi-bagikan uang kepada masyarakat. Rakyat harus dibuat senang dengan diberi banyak uang karena memang sedang dilangsungkan “pestaâ€.
Money Politic vs Suap
Terhadap kasus suap/sogok, masyarakat sepakat bahwa perbuatan tersebut adalah dosa dan tercela.
Suap merugikan pihak lain dan mencederai keadilan. Pemberi suap biasanya adalah pihak yang memiliki jabatan lebih rendah daripada penerima suap (misal pejabat). Penerima suap memang orang yang memiliki kekuasaan dan bisa jadi memiliki kemampuan ekonomi yang lebih mapan.
Sementara itu, money politic merupakan pemberian yang biasanya berasal dari calon pejabat kepada masyarakat agar masyarakat memilihnya, atau dari pejabat agar ia tetap dipilih dan tetap menjadi pejabat.
Dengan kondisi yang demikian, kadang-kadang masyarakat menyamakan money politic dengan sedekah kepada kaum dhuafa sehingga antara money politic dan sedekah tidak dapat mereka bedakan. Sedekah dan money politic memiliki motif yang berbeda sehingga keduanya tetap berbeda.
Penerima money politic memang biasanya orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang mapan dan pendidikan yang kurang. Walaupun demikian kelompok masyarakat yang secara sosial ekonomi termarjinalkan ini adalah orang yang memiliki kekuasaan dalam kehidupan demokrasi.
Sebagai warga negara mereka adalah juga pemegang kedaulatan rakyat. Hal ini disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasarâ€. Para warga Negara penerima money politic, walaupun mereka adalah para fakir miskin, memiliki kedaulatan dan kekuasaan pada saat di bilik suara untuk menentukan seseorang menjadi kepala negara/daerah atau tidak.
Mereka juga memiliki kedaulatan untuk menentukan seseorang bisa menjadi anggota legislatif ataukah tidak. Dengan demikian, money politic memiliki karakter dan motif yang sama dengan suap, yakni mencederai keadilan dan merugikan pihak-pihak tertentu dengan cara yang tidak sah.
Suap menjadi salah satu bentuk korupsi dan telah dilarang dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga dengan money politic yang dilarang dalam pelaksanaan pemilihan umum. Larangan keduanya didorong oleh sifat dari keduanya yang dapat merugikan pihak lain dan kepentingan negara atau masyarakat luas.
Negara telah menyediakan sanksi bagi orang-orang yang melanggarnya. Sanksi dari negara diberikan apabila pelanggaran tersebut diketahui oleh aparat berwajib dan dibuktikan di muka pengadilan. Karena sulitnya membuktikan keduanya, maka banyak pihak yang tetap merasa aman walaupun telah berulang kali memberikan atau menerima suap ataupun money politic tersebut.
Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ada baiknya setiap warga negara ini mengingat kembali ajaran agama yang dianutnya. Tuhan Yang Maha Mengetahui tentu tidak akan kesulitan untuk menyaksikan setiap perbuatan manusia. Tuhan Yang Maha Mendengar juga selalu mengetahui pembicaraan yang mengarah pada suap dan money politic. Untuk kepentingan ini Tuhan Yang Maha Perkasa tidak memerlukan alat sadap seperti yang dilakukan oleh salah satu lembaga penegak hukum di negeri ini.
Sudah lebih dari empat belas abad yang lalu Tuhan telah mengingatkan umat manusia dalam firman-Nya:
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) menyuap dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188).
Suap dan money politic adalah perbuatan bathil, tidak dibenarkan dalam agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Kepada para pelakunya pun telah diancam laknat atau kutukan, baik pemberi maupun penerimanya.
Hal ini telah disabdakan oleh Utusan Tuhan: "Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap". (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad).
Di bulan Ramadhan yang suci tahun ini, pemilihan presiden akan segera digelar. Sangat tidak sepatutnya apabila kesucian tersebut terkoyak oleh suap ataupun money politic. Apalagi bagi orang yang menunaikan ibadah puasa, tentu perbuatan tercela ini akan menghapuskan pahala puasa dan bahkan menghinakannya. Semoga pemilihan presiden 2014 ini tidak dicederai dengan suap ataupun money politic demi tegaknya nilai-nilai keadilan di bumi pertiwi.
*) Penulis adalah widyaiswara Kementerian Keuangan pada Balai Diklat Keuangan Makassar
dan Doktor Ekonomi Islam alumni UIN Alauddin Makassar.