Makassar Menuju Kota Dunia Dengan Sanitasi Komunal
"Pada 2009 pertumbuhan ekonomi Makassar tercatat sebesar 9,20 persen, empat tahun kemudian yakni 2013 meningkat menjadi 9,88 persen," kata Ramdhan yang akrab disapa Dhani.
Makassar (ANTARA Sulsel) - Ketika berbicara tentang kehidupan manusia yang berhubungan dengan sanitasi, mungkin belum lazim di teliga mendengar Hari Toilet Sedunia.
Sebagian menganggap aneh, bahkan tidak peduli dan tidak menganggap penting Hari Toilet Sedunia yang jatuh pada 19 November. Saat ini, perhatian masyarakat hanya tersedot dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau pun persoalan politik dengan "trendsetter"nya.
Ketidakpedulian terhadap persoalan toilet, tidak hanya terjadi di ibu kota negara, tetapi juga di Kota Makassar yang sudah mempredikatkan diri sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Bahkan kini Makassar bertekad menjadi kota dunia, yang sebagian masyarakat di kota berjulukan "anging mamiri" ini optimistis dengan cita-cita Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto, namun sebagian lagi pesimis dengan melihat kondisi di lapangan, misalnya sampah masih ditemukan berserakan di sudut-sudut kota.
Namun hal itu, dicoba dipatahkan dengan melihat sisi lain dari Kota Makassar yang sejak 2008 telah mencatat angka pertumbuhan di atas sembilan persen atau melebihi rata-rata pertumbuhan nasional yang hanya sekitar 6 - 7 persen.
"Pada 2009 pertumbuhan ekonomi Makassar tercatat sebesar 9,20 persen, empat tahun kemudian yakni 2013 meningkat menjadi 9,88 persen," kata Ramdhan yang akrab disapa Dhani.
Angka pertumbuhan 2013 itu disumbang lima sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 29,60 persen, diikuti industri pengolahan 17,51 persen, angkutan dan komunikasi 15,73 persen, diikuti sektor jasa dan keuangan masing-masing 15,67 dan 11,61 persen.
Dengan angka pertumbuhan yang fantastis ini, warga Makassar patut bangga menyebut kotanya sebagai kota yang paling siap di Indonesia menyongsong datangnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Hanya saja, dibalik prestasi itu masih tertinggal setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Kota Makassar yang dinahkodai Dhani.
Satu dari sejumlah persoalan yang harus ditangani Pemkot Makassar beserta masyarakatnya adalah menata dan menjaga kesehatan warga termasuk lingkungan permukimannya.
Bagian dari persoalan itu adalah pengadaan sarana sanitasi yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah setempat. Apalagi sanitasi yang layak dan sehat merupakan bagian dari kebutuhan dasar warga negara yang tidak boleh dianggap sepele oleh pengambil kebijakan di suatu daerah maupun masyarakatnya.
"Dari sisi fasilitas, kami berusaha mengoptimalkan sarana yang ada. Sementara semua kinerja itu erat kaitannya dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang telah menyumbang angka pertumbuhan Makassar," ujarnya.
Sektor ekonomi itu disadari ataupun tidak telah memicu tingginya lalu-lalang manusia di kota berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa ini yang tentu membutuhkan layanan sanitasi yang baik dan akhirnya mendukung Makassar menjadi kota berkelas dunia.
Dalam mewujudkan cita-cita Makassar menjadi kota dunia yang nyaman untuk semua, Pemkot Makassar bekerja sama dengan Pemerintah Australia melalui Program Hibah Peningkatan Sanitasi.
Lingkungan sehat
Kota yang berkelas dunia, ditentukan oleh lingkungan yang sehat yang didukung sanitasi dengan ketersediaan dan akses pada toilet. Dengan capaian tersebut, otomatis akan menunjukkan kesiapan kota ini dalam menyonsong pembangunan millennium (MDG) 2015.
Pemerintah Indonesia melalui draft Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019 mengamanatkan, pada 2019 Indonesia akan mencapai 100 persen akses air minum dan sanitasi (universal coverage) yang layak kepada seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah Indonesia melalui kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman (KSNP-SPALP).
Dari sudut pandang ini, keinginan Makassar menjadi kota berstandar dunia dengan juga menyediakan sarana sanitasi yang layak bagi warganya merupakan langkah yang sangat tepat.
Menurut Kadis Pekerjaan Umum Kota Makassar Anshar, untuk pembangunan di bidang sanitasi ini, masyarakat Makassar tidak perlu risau akan kekurangan sumber daya dan dana, karena sejumlah pihak siap membantu meraih impiannya menjadi kota berstandar dunia, diantaranya adalah Pemerintah Australia.
Melalui skema kerjasama dana hibah infrastruktur sanitasi Australia Indonesia (sAIIG), Makassar berkesempatan untuk membangun sarana sanitasi untuk 1.520 sambungan rumah.
Dengan nilai pemasangan Rp4 juta per sambungan rumah, maka total dana yang akan didapat Makassar berjumlah Rp6,08 miliar.
"Sistem hibah sanitasi ini diawali dengan pelaksanaan pembangunan dari APBD, kemudian setelah rampung akan mendapatkan "reimbush" oleh Pemerintah Australia," katanya.
Hal tersebut dibenarkan Program Officer Water and Sanitation Indonesia Infrastructure Initiative (INDII) Nur Fadrina Mourbas.
Menurut dia, pembiayaan infrastruktur sanitasi itu dilakukan dengan skema program berbasis hasil, sehingga Pemda akan mendanai kegiatan itu terlebih dahulu, kemudian setelah rampung maka pihak INDII barulah menggantikan semua pembiayaan tersebut.
"Secara nasional, lembaga kami menyiapkan dana hibah sebesar 240 juta dolar Amerika, sedang khusus di Kota Makassar pada 2015 dananya sekitar Rp6 miliar yang akan difokuskan pada empat kelurahan," katanya.
Empat lokasi itu adalah Kelurahan Rappokalling, Kassi-Kassi, Pannambungan dan Manggala.
Dana hibah serupa tersedia juga untuk bidang transportasi dan air minum. Makassar, bersama 42 pemerintah daerah lain di Indonesia, telah menyatakan minat untuk mendapatkan hibah sanitasi Australia Indonesia yang nilai totalnya 40 juta dolar Australia atau sekitar 35 juta dolar Amerika.
Dana hibah tersebut dikelola oleh INDII kerjasama Pemerintah Australia dengan Kementerian Keuangan, Kementerian PU dan Bappenas.
IndII telah menjalin kerja sama dengan Pemkot Makassar untuk membangun sistem sanitasi komunal. Sistem ini nantinya akan menampung pembuangan limbah dari rumah-rumah warga, baik itu kotoran manusia, limbah air mandi, sampai cucian untuk disalurkan ke sebuah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpusat dalam skala permukiman.
Dengan demikian, selokan yang ada di permukiman warga hanya akan jadi saluran bagi air hujan yang bebas dari limbah rumah tangga.
Pentingnya pengadaan instalasi pengolahan limbah domestik secara komunal, sebab sebagian besar warga Makassar belum memilikinya. Kalau pun ada, masih banyak warga yang tidak pernah menyedot "septic tank" di rumah mereka.
"Ini sebuah kekeliruan yang terlanjur dianggap prestasi. Padahal dengan penyediaan IPAL permukiman ini akan menjadi upaya memelihara kesehatan rumah tangga sekaligus lingkungan, karena membantu menjamin daur ulang air yang lebih bersahabat bagi lingkungan, satu ciri tata kelola kota kelas dunia," kata Nur Fadrina.
Sementara itu, Kadis PU Kota Makassar Ansar mengatakan, untuk mencapai itu perlu dukungan regulasi, agar ke depan semua perumahan sudah memiliki pengelolaan limbah dengan sistem komunal.
Alasannnya, karena selama ini sistem pengelolaan limbah kotoran manusia masih per rumah tangga, sedang pembuangan limbah air mandi dan cucian hanya dibuang langsung ke got atau saluran air.
"Padahal itu semua dapat dikelola dalam satu sistem sanitasi komunal, selanjutnya limbah yang dikeluarkan setelah diolah dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya," katanya.
Berdasarkan data Dinas PU Kota Makassar diketahui, dari 86 persen jumlah kepemilikan jamban pribadi di Kota Makassar, baru 36 persen yang dinyatakan sebagai jamban yang layak. Sementara yang masih melakukan Buang Air Besar Sembarangn (BABS) masih tercatat sekitar 12 persen.
Kondisi itulah yang menjadi tantangan, sekaligus menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkot Makassar. Tekad bulat dan regulasi tidaklah cukup, tapi perlu didukung dengan perubahan pola pikir dan prilaku masyarakat, sehingga cita-cita Makassar menjadi kota dunia dapat terwujud.
Sebagian menganggap aneh, bahkan tidak peduli dan tidak menganggap penting Hari Toilet Sedunia yang jatuh pada 19 November. Saat ini, perhatian masyarakat hanya tersedot dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau pun persoalan politik dengan "trendsetter"nya.
Ketidakpedulian terhadap persoalan toilet, tidak hanya terjadi di ibu kota negara, tetapi juga di Kota Makassar yang sudah mempredikatkan diri sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Bahkan kini Makassar bertekad menjadi kota dunia, yang sebagian masyarakat di kota berjulukan "anging mamiri" ini optimistis dengan cita-cita Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto, namun sebagian lagi pesimis dengan melihat kondisi di lapangan, misalnya sampah masih ditemukan berserakan di sudut-sudut kota.
Namun hal itu, dicoba dipatahkan dengan melihat sisi lain dari Kota Makassar yang sejak 2008 telah mencatat angka pertumbuhan di atas sembilan persen atau melebihi rata-rata pertumbuhan nasional yang hanya sekitar 6 - 7 persen.
"Pada 2009 pertumbuhan ekonomi Makassar tercatat sebesar 9,20 persen, empat tahun kemudian yakni 2013 meningkat menjadi 9,88 persen," kata Ramdhan yang akrab disapa Dhani.
Angka pertumbuhan 2013 itu disumbang lima sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 29,60 persen, diikuti industri pengolahan 17,51 persen, angkutan dan komunikasi 15,73 persen, diikuti sektor jasa dan keuangan masing-masing 15,67 dan 11,61 persen.
Dengan angka pertumbuhan yang fantastis ini, warga Makassar patut bangga menyebut kotanya sebagai kota yang paling siap di Indonesia menyongsong datangnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Hanya saja, dibalik prestasi itu masih tertinggal setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Kota Makassar yang dinahkodai Dhani.
Satu dari sejumlah persoalan yang harus ditangani Pemkot Makassar beserta masyarakatnya adalah menata dan menjaga kesehatan warga termasuk lingkungan permukimannya.
Bagian dari persoalan itu adalah pengadaan sarana sanitasi yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah setempat. Apalagi sanitasi yang layak dan sehat merupakan bagian dari kebutuhan dasar warga negara yang tidak boleh dianggap sepele oleh pengambil kebijakan di suatu daerah maupun masyarakatnya.
"Dari sisi fasilitas, kami berusaha mengoptimalkan sarana yang ada. Sementara semua kinerja itu erat kaitannya dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang telah menyumbang angka pertumbuhan Makassar," ujarnya.
Sektor ekonomi itu disadari ataupun tidak telah memicu tingginya lalu-lalang manusia di kota berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa ini yang tentu membutuhkan layanan sanitasi yang baik dan akhirnya mendukung Makassar menjadi kota berkelas dunia.
Dalam mewujudkan cita-cita Makassar menjadi kota dunia yang nyaman untuk semua, Pemkot Makassar bekerja sama dengan Pemerintah Australia melalui Program Hibah Peningkatan Sanitasi.
Lingkungan sehat
Kota yang berkelas dunia, ditentukan oleh lingkungan yang sehat yang didukung sanitasi dengan ketersediaan dan akses pada toilet. Dengan capaian tersebut, otomatis akan menunjukkan kesiapan kota ini dalam menyonsong pembangunan millennium (MDG) 2015.
Pemerintah Indonesia melalui draft Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019 mengamanatkan, pada 2019 Indonesia akan mencapai 100 persen akses air minum dan sanitasi (universal coverage) yang layak kepada seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah Indonesia melalui kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman (KSNP-SPALP).
Dari sudut pandang ini, keinginan Makassar menjadi kota berstandar dunia dengan juga menyediakan sarana sanitasi yang layak bagi warganya merupakan langkah yang sangat tepat.
Menurut Kadis Pekerjaan Umum Kota Makassar Anshar, untuk pembangunan di bidang sanitasi ini, masyarakat Makassar tidak perlu risau akan kekurangan sumber daya dan dana, karena sejumlah pihak siap membantu meraih impiannya menjadi kota berstandar dunia, diantaranya adalah Pemerintah Australia.
Melalui skema kerjasama dana hibah infrastruktur sanitasi Australia Indonesia (sAIIG), Makassar berkesempatan untuk membangun sarana sanitasi untuk 1.520 sambungan rumah.
Dengan nilai pemasangan Rp4 juta per sambungan rumah, maka total dana yang akan didapat Makassar berjumlah Rp6,08 miliar.
"Sistem hibah sanitasi ini diawali dengan pelaksanaan pembangunan dari APBD, kemudian setelah rampung akan mendapatkan "reimbush" oleh Pemerintah Australia," katanya.
Hal tersebut dibenarkan Program Officer Water and Sanitation Indonesia Infrastructure Initiative (INDII) Nur Fadrina Mourbas.
Menurut dia, pembiayaan infrastruktur sanitasi itu dilakukan dengan skema program berbasis hasil, sehingga Pemda akan mendanai kegiatan itu terlebih dahulu, kemudian setelah rampung maka pihak INDII barulah menggantikan semua pembiayaan tersebut.
"Secara nasional, lembaga kami menyiapkan dana hibah sebesar 240 juta dolar Amerika, sedang khusus di Kota Makassar pada 2015 dananya sekitar Rp6 miliar yang akan difokuskan pada empat kelurahan," katanya.
Empat lokasi itu adalah Kelurahan Rappokalling, Kassi-Kassi, Pannambungan dan Manggala.
Dana hibah serupa tersedia juga untuk bidang transportasi dan air minum. Makassar, bersama 42 pemerintah daerah lain di Indonesia, telah menyatakan minat untuk mendapatkan hibah sanitasi Australia Indonesia yang nilai totalnya 40 juta dolar Australia atau sekitar 35 juta dolar Amerika.
Dana hibah tersebut dikelola oleh INDII kerjasama Pemerintah Australia dengan Kementerian Keuangan, Kementerian PU dan Bappenas.
IndII telah menjalin kerja sama dengan Pemkot Makassar untuk membangun sistem sanitasi komunal. Sistem ini nantinya akan menampung pembuangan limbah dari rumah-rumah warga, baik itu kotoran manusia, limbah air mandi, sampai cucian untuk disalurkan ke sebuah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpusat dalam skala permukiman.
Dengan demikian, selokan yang ada di permukiman warga hanya akan jadi saluran bagi air hujan yang bebas dari limbah rumah tangga.
Pentingnya pengadaan instalasi pengolahan limbah domestik secara komunal, sebab sebagian besar warga Makassar belum memilikinya. Kalau pun ada, masih banyak warga yang tidak pernah menyedot "septic tank" di rumah mereka.
"Ini sebuah kekeliruan yang terlanjur dianggap prestasi. Padahal dengan penyediaan IPAL permukiman ini akan menjadi upaya memelihara kesehatan rumah tangga sekaligus lingkungan, karena membantu menjamin daur ulang air yang lebih bersahabat bagi lingkungan, satu ciri tata kelola kota kelas dunia," kata Nur Fadrina.
Sementara itu, Kadis PU Kota Makassar Ansar mengatakan, untuk mencapai itu perlu dukungan regulasi, agar ke depan semua perumahan sudah memiliki pengelolaan limbah dengan sistem komunal.
Alasannnya, karena selama ini sistem pengelolaan limbah kotoran manusia masih per rumah tangga, sedang pembuangan limbah air mandi dan cucian hanya dibuang langsung ke got atau saluran air.
"Padahal itu semua dapat dikelola dalam satu sistem sanitasi komunal, selanjutnya limbah yang dikeluarkan setelah diolah dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya," katanya.
Berdasarkan data Dinas PU Kota Makassar diketahui, dari 86 persen jumlah kepemilikan jamban pribadi di Kota Makassar, baru 36 persen yang dinyatakan sebagai jamban yang layak. Sementara yang masih melakukan Buang Air Besar Sembarangn (BABS) masih tercatat sekitar 12 persen.
Kondisi itulah yang menjadi tantangan, sekaligus menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkot Makassar. Tekad bulat dan regulasi tidaklah cukup, tapi perlu didukung dengan perubahan pola pikir dan prilaku masyarakat, sehingga cita-cita Makassar menjadi kota dunia dapat terwujud.