Riset, cara mempercepat penanggulangan kemiskinan di Sulsel
Makassar (ANTARA) - Direktur Smeru Research Institute, Asep Suryahadi menyampaikan, upaya pengentasan kemiskinan harus didukung oleh riset-riset untuk mengembangkan pengetahuan baru guna menyusun terobosan kebijakan yang tepat, termasuk di Sulawesi Selatan.
"Persoalan ego sektoral yang memang masih salah satu hambatannya, namun kuncinya tetap ada pada kordinasi di level tertinggi, yaitu kepala daerah," ungkapnya pada media briefing di Four Point by Sheraton Makassar, Kamis.
The Smeru Research Institute merupakan lembaga independen yang melakukan penelitian dan kajian kebijakan publik, secara profesional dan proaktif terhadap berbagai masalah sosial ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.
Sampai saat ini, kata Asep, masih terdapat praktik umum dalam pengembangan kebijakan yang lebih menggunakan intuisi, pendapat dan kepentingan sektoral daripada hasil penelitian atau analisis.
Di samping itu, banyak kebijakan masih tidak sensitif terhadap kesetaraan gender dan inklusi sosial sehingga dapat meningkatkan kesenjangan sosial antara kelompok masyarakat bahkan antar wilayah.
"Kalau proses musyawarah pembangunan berjalan dengan baik, sebenarnya harus bisa dilihat atau mengidentifikasi permasalahan yang ada sekaligus menyelesaikannya," ucapnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Smeru Research Institute pada tahun 2017, Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke 17 dari 34 provinsi dalam indeks pembangunan ekonomi inklusif.
Disparitas antar wilayah di Sulsel sangat tinggi, terlihat dari presentase penduduk miskin yang sangat berbeda antar wilayah, misalnya di Jeneponto presentasenya mencapai 15,4 persen, sedangkan di Kota Makassar hanya 4,59 persen.
Oleh karena itu, penting bekerja sama dengan semua pihak untuk terus mengembangkan indeks dan menggunakannya sebagai pelengkap analisis pembangunan ekonomi lainnya.
"Kalau di Sulsel, kami baru mulai kerjasama tahun 2018 kemarin, dan ini baru kembali ingin bertemu gubernur yang baru. Untuk Sulawesi Selatan, kami saat ini hanya bekerja sama dengan Kabupaten Pangkep," ungkap Asep.
Pemprov Sulsel telah melakukan beberapa upaya untuk mendukung kebijakan berbasis bukti. Di antaranya, riset Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulsel pada awal 2019 untuk mempromosikan inovasi yang berkaitan dengan empat produk unggulan daerah, yaitu kopi, rumput laut, gula aren dan garam.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Endi Robert Jaweng menyampaikan, untuk memastikan terbangunnya industri inti dan penunjang ke empat produk tersebut, perlu ada cluster inovasi dan entrepreneurship.
"Untuk memahami aktivitas kebijakan daerah dan dampaknya terhadap bisnis, kami telah melakukan studi tentang kemudahan berusaha di sepuluh kota bisnis, termasuk Makassar," ucapnya.
Penelitian telah menunjukkan bahwa di Makassar membutuhkan waktu relatif lama untuk memulai bisnis (24,5 hari) dan biayanya relatif lebih tinggi (8,4 juta) dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan menyebutkan kualitas perencanaan dan penganggaran di Sulsel perlu terus ditingkatkan, terutama pada aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, kesetaraan gender dan inklusi sosial.
Hasil kajian Local Budget index (LBI) terakhir oleh Seknas Fitra menempatkan daerah-daerah di Provinsi Sulsel berada di papan tengah dari 70 daerah se Indonesia, kecuali Kabupaten Bone.
"Bahkan pada penghargaan pembangunan daerah 9 Mei 2019 lalu, Sulsel tidak masuk dalam 10 besar," bebernya.
Untuk itu, ungkap Misbah, Pemerintah Provinsi Sulsel perlu menggalang sinergi dengan semua pihak, utamanya organisasi masyarakat sipil, kampus, kelompok masyarakat, marginal untuk memperkuat kualitas perencanaan dan penganggarannya.
"Persoalan ego sektoral yang memang masih salah satu hambatannya, namun kuncinya tetap ada pada kordinasi di level tertinggi, yaitu kepala daerah," ungkapnya pada media briefing di Four Point by Sheraton Makassar, Kamis.
The Smeru Research Institute merupakan lembaga independen yang melakukan penelitian dan kajian kebijakan publik, secara profesional dan proaktif terhadap berbagai masalah sosial ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.
Sampai saat ini, kata Asep, masih terdapat praktik umum dalam pengembangan kebijakan yang lebih menggunakan intuisi, pendapat dan kepentingan sektoral daripada hasil penelitian atau analisis.
Di samping itu, banyak kebijakan masih tidak sensitif terhadap kesetaraan gender dan inklusi sosial sehingga dapat meningkatkan kesenjangan sosial antara kelompok masyarakat bahkan antar wilayah.
"Kalau proses musyawarah pembangunan berjalan dengan baik, sebenarnya harus bisa dilihat atau mengidentifikasi permasalahan yang ada sekaligus menyelesaikannya," ucapnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Smeru Research Institute pada tahun 2017, Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke 17 dari 34 provinsi dalam indeks pembangunan ekonomi inklusif.
Disparitas antar wilayah di Sulsel sangat tinggi, terlihat dari presentase penduduk miskin yang sangat berbeda antar wilayah, misalnya di Jeneponto presentasenya mencapai 15,4 persen, sedangkan di Kota Makassar hanya 4,59 persen.
Oleh karena itu, penting bekerja sama dengan semua pihak untuk terus mengembangkan indeks dan menggunakannya sebagai pelengkap analisis pembangunan ekonomi lainnya.
"Kalau di Sulsel, kami baru mulai kerjasama tahun 2018 kemarin, dan ini baru kembali ingin bertemu gubernur yang baru. Untuk Sulawesi Selatan, kami saat ini hanya bekerja sama dengan Kabupaten Pangkep," ungkap Asep.
Pemprov Sulsel telah melakukan beberapa upaya untuk mendukung kebijakan berbasis bukti. Di antaranya, riset Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulsel pada awal 2019 untuk mempromosikan inovasi yang berkaitan dengan empat produk unggulan daerah, yaitu kopi, rumput laut, gula aren dan garam.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Endi Robert Jaweng menyampaikan, untuk memastikan terbangunnya industri inti dan penunjang ke empat produk tersebut, perlu ada cluster inovasi dan entrepreneurship.
"Untuk memahami aktivitas kebijakan daerah dan dampaknya terhadap bisnis, kami telah melakukan studi tentang kemudahan berusaha di sepuluh kota bisnis, termasuk Makassar," ucapnya.
Penelitian telah menunjukkan bahwa di Makassar membutuhkan waktu relatif lama untuk memulai bisnis (24,5 hari) dan biayanya relatif lebih tinggi (8,4 juta) dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan menyebutkan kualitas perencanaan dan penganggaran di Sulsel perlu terus ditingkatkan, terutama pada aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, kesetaraan gender dan inklusi sosial.
Hasil kajian Local Budget index (LBI) terakhir oleh Seknas Fitra menempatkan daerah-daerah di Provinsi Sulsel berada di papan tengah dari 70 daerah se Indonesia, kecuali Kabupaten Bone.
"Bahkan pada penghargaan pembangunan daerah 9 Mei 2019 lalu, Sulsel tidak masuk dalam 10 besar," bebernya.
Untuk itu, ungkap Misbah, Pemerintah Provinsi Sulsel perlu menggalang sinergi dengan semua pihak, utamanya organisasi masyarakat sipil, kampus, kelompok masyarakat, marginal untuk memperkuat kualitas perencanaan dan penganggarannya.