Jakarta (ANTARA) - Anggota Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 Reisa Broto Asmoro mengatakan selama pandemi COVID-19 kasus kekerasan berbasis gender meningkat.
"Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sekitar 75 persen sejak pandemi COVID-19," kata Reisa Broto Asmoro dalam konferensi pers di Graha BNPB Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan kekerasan berbasis gender adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam tindakan kekerasan yang membahayakan atau mengakibatkan penderitaan pada seseorang yang dilakukan berdasarkan perbedaan sosial, termasuk gender laki-laki dan perempuan yang dapat mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran, termasuk berupa ancaman, paksaan dan berbagai bentuk lainnya yang merampas kebebasan seseorang, baik di ruang publik maupun di lingkungan kehidupan pribadi.
Kekerasan gender itu perlu diperhatikan secara serius karena korban tidak seharusnya dibiarkan menghadapi kekerasan sendirian. "Mereka harus tetap mendapatkan bantuan dari pihak lain pada masa pandemi ini," katanya.
Pada masa pandemi ini, kebutuhan korban menjadi dilematis karena petugas atau pendamping harus mengantisipasi dengan cermat situasi dan kondisi risiko penularan COVID-19 pada saat memberi bantuan.
Untuk itulah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Fund for Population Activities/UNFPA) membuat protokol untuk penanganan kasus kekerasan berbasis gender yang diharapkan bisa dijadikan protokol bersama dalam penanganan kekerasan, sehingga korban tetap terlayani dan lembaga penyedia layanan tetap bisa memberikan penanganan kasus dengan merujuk pada protokol yang ada.
Protokol tersebut diadopsi dari panduan penanganan kekerasan berbasis gender yang disusun oleh Pemprov DKI Jakarta, lembaga swadaya masyarakat, penyedia layanan bersama Kemen PPPA dan UNFPA pada 2020.
Protokol tersebut mengarahkan agar korban bisa secepatnya melapor kepada pemerintah setempat melalui "call center" yang tersedia yang melayani pengaduan kekerasan.
Kemudian, korban juga didorong untuk meminta bantuan dari orang terpercaya yang dapat memberikan dukungan, baik secara psikologis dan bahkan medis, dan sebisa mungkin keluar dari situasi yang mengundang kekerasan tersebut.
Selanjutnya, ia meminta kepada orang-orang yang tidak menjadi korban untuk bersuara dan mengatakan tidak terhadap aksi kekerasan dalam bentuk apapun.
"Berikan dukungan kita kepada para korban. Bergabunglah dengan kelompok-kelompok antikekerasan berbasis gender dan mendukung pemerintah untuk memutus mata rantai kekerasan berbasis gender serta mengurangi risiko pada korban yang terkena COVID-19 dengan peduli dan melindungi mereka. Karena itu artinya melindungi diri kita dan bangsa," katanya.
Berita Terkait
Unhas dan OWSD sepakat perjuangkan kesetaraan gender dalam sains
Kamis, 7 Maret 2024 19:48 Wib
Pemprov Sulsel dan komunitas perempuan membahas ketidakadilan gender
Selasa, 12 Desember 2023 0:27 Wib
BRIN sarankan pemerintah perkuat perlindungan masyarakat terdampak perubahan iklim
Kamis, 23 November 2023 16:09 Wib
Kasus menantu perempuan dibunuh mertua di Jawa Timur tergolong femisida
Jumat, 3 November 2023 19:10 Wib
BPS sebut Indeks Ketimpangan Gender Sulbar turun 0,033 poin
Rabu, 2 Agustus 2023 5:35 Wib
Kementerian PPPA: Aparat yang tangani kasus perempuan-anak harus berperspektif gender
Senin, 19 Juni 2023 12:56 Wib
Menteri PPPA: Perempuan masih alami kesenjangan di bidang ekonomi
Jumat, 5 Mei 2023 10:50 Wib
Pemkab Gowa jadikan pengarusutamaan gender sebagai strategi pembangunan
Selasa, 18 April 2023 21:50 Wib