Semarang (ANTARA) - Pakar hukum Unissula Semarang Jawade Hafidz menilai pasal santet dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu dikaji ulang karena sangat subjektif, bahkan obscure (tidak jelas).
"Rumusan Pasal 252 RUU KUHP sangat subjektif, obscure," kata dosen Fakultas Hukum Unissula Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu.
Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).
Jika setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2).
Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.
Dijelaskan pula bahwa ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).
Jawade Hafidz menegaskan bahwa pasal tersebut subjektif dan obscure karena tafsirannya sangat bergantung pada cara pandang masing-masing.
Menyinggung soal pembuktian terhadap pelanggar pasal santet, dia mengutarakan bahwa hingga sekarang belum ada alat ukur untuk bisa membuktikan praktik-praktik semacam itu.
Ia lantas menyebutkan ketentuan di dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang lima alat bukti yang menjadi dasar untuk membuktikan perbuatan seseorang melakukan tindak pidana masih sumir dan debatable (belum pasti).
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 184 Ayat (1) disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Berita Terkait
Kanwil Kemenkumham Sulbar sosialisasikan KUHP baru kepada narapidana
Selasa, 29 Agustus 2023 11:33 Wib
Kemenkumham menggelar penyuluhan KUHP demi penguatan kualitas hukum RI
Rabu, 2 Agustus 2023 13:30 Wib
Yasonna nilai UU KUHP beri pengakuan pada hukum tak tertulis
Senin, 24 Juli 2023 13:53 Wib
Wamenkumham: KUHP Nasional mulai diberlakukan 2 Januari 2026
Rabu, 17 Mei 2023 17:54 Wib
MK menolak uji materi KUHP terkait penyerangan martabat presiden
Selasa, 28 Februari 2023 14:22 Wib
Kemenkumham: KUHP baru tak akan bungkam demokratisasi
Selasa, 28 Februari 2023 12:44 Wib
Kemenkumham akan sosialisasikan KUHP baru secara masif
Kamis, 23 Februari 2023 15:33 Wib
AS mengkhawatirkan pasal-pasal dalam KUHP baru Indonesia
Minggu, 19 Februari 2023 13:57 Wib