Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan beberapa catatan terkait dengan pelaksanaan vaksin berbayar guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, pada hari Senin (12/7), Ketua KPK Firli Bahuri menghadiri rapat koordinasi (rakor) membahas pelaksanaan vaksinasi mandiri dan gotong royong.
"Saya hadir dalam rapat dan saya sampaikan pertimbangan, latar belakang, landasan hukum, rawan terjadi fraud (kecurangan), saran tindak lanjut. Saya menyampaikan materi potensi fraud mulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi, dan evaluasi program," kata Firli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Hadir dalam rakor Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, dan Jaksa Agung S.T. Burhanuddin.
Dalam rakor, Ketua KPK juga menyampaikan saran dan langkah-langkah strategis menyikapi potensi kecurangan jika vaksin mandiri dilaksanakan berbayar kepada masyarakat serta vaksinasi selanjutnya.
"Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Saya ingin tidak ada korupsi," ucap Firli.
Ada enam saran yang disampaikan Firli.
1. KPK memahami permasalahan implementasi vaksinasi saat ini sekaligus mendukung upaya percepatan vaksinasi.
2. Penjualan vaksin gotong royong kepada individu melalui Kimia Farma meskipun sudah dilengkapi dengan permenkes, menurut KPK berisiko tinggi dari sisi medis dan kontrol vaksin (reseller bisa muncul dan lain-lain), efektivitas rendah, dan jangkauan Kimia Farma terbatas.
3. Perluasan penggunaan vaksin gotong royong kepada individu ini direkomendasikan, yakni hanya menggunakan vaksin gotong royong tidak boleh menggunakan vaksin hibah, baik bilateral maupun skema COVAX, dibuka transparansi data alokasi dan penggunaan vaksin gotong royong (by name, by address, dan badan usaha).
Selanjutnya, pelaksanaan hanya melalui lembaga/institusi yang menjangkau kabupaten/kota, misalnya rumah sakit swasta se-Indonesia atau Kantor Pelayanan Pajak karena mereka mempunyai database wajib pajak yang mampu secara ekonomis atau lembaga lain selain retail, seperti Kimia Farma, dan perbaikan logistik vaksin untuk mencegah vaksin mendekati kedaluwarsa dan distribusi lebih merata.
4. Sesuai dengan Perpres Nomor 99 Tahun 2020, Menkes diperintahkan untuk menentukan jumlah, jenis, harga vaksin, serta mekanisme vaksinasi.
5. Perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan monitoring pelaksanaan vaksin gotong royong secara transparan, akuntabel, dan dipastikan tidak terjadi praktik kecurangan.
6. Data menjadi kata kunci sehingga Kemenkes harus menyiapkan data calon peserta vaksin gotong royong sebelum dilakukan vaksinasi.
Selain itu, Firli juga memberikan tiga catatan lainnya, yakni KPK tidak mendukung pola vaksin gotong royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah, sementara tata kelolanya berisiko, KPK mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.
"Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, dan lembaga organisasi pengusaha atau asosiasi," ujar Firli.
Berita Terkait
Komisi IX DPR meminta Kemenkes sosialisasikan vaksin berbayar COVID-19
Minggu, 31 Desember 2023 6:04 Wib
Kemenkes : Saat ini belum ditemukan mutasi baru virus COVID-19
Selasa, 19 Desember 2023 16:13 Wib
BRIN mengusulkan pemerintah wajibkan vaksin DBD
Minggu, 15 Oktober 2023 16:56 Wib
Pemprov Sulbar imbau masyarakat lakukan vaksinasi DPT pada balita
Rabu, 11 Oktober 2023 0:50 Wib
Kemenkes memastikan vaksin HPV pada perempuan tidak menyebabkan mandul
Selasa, 10 Oktober 2023 9:06 Wib
BRIN merancang vaksin oral untuk penyakit hepatitis
Jumat, 7 Juli 2023 14:37 Wib
Dokter mengimbau warga digigit anjing segera disuntik VAR
Jumat, 7 Juli 2023 14:36 Wib
Bio Farma siapkan 850 ribu dosis Vaksin Pentavalen untuk Nigeria
Senin, 12 Juni 2023 19:44 Wib