SK pemberhentian NA diprediksi akan picu kontalasi politik di Sulsel
Makassar (ANTARA) - Pengamat Politik dari Universitas Hasanuddin Makassar, Andi Ali Armunanto memperdiksi konstalasi politik akan memicu dinamika perpolitikan, setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah karena tersandung kasus suap di Sulawesi Selatan.
"Saya rasa (SK pemberhentian sementara) ini akan merubah konstalasi politik di lingkungan provinsi karena perubahan kewenangan. Bahkan akan berimbas secara politik baik pada lingkungan birokrasi maupun konstalasi politik di Sulsel secara keseluruhan," ujarnya saat dikonfirmasi melalui telepon selularnya, Selasa.
Menurut dia, dengan pemberhentian sementara itu, serta status yang disandang Nurdin Abdullah sebagai terdakwa, maka kemungkinan besar jabatan Pelaksana tugas (Plt) gubernur yang kini dijabat Andi Sudirman Sulaiman, wakil Nurdin bisa saja naik menjadi Pejabat (Pj) Gubernur Sulsel.
Sehingga, konsekuensinya otoritas kewenangan terhadap status jabatan Pj akan semakin luas. Karena, dengan keluarnya SK presiden ini, tinggal menunggu waktu peralihan dari Plt menjadi Pj gubernur. Kendati demikian, maka diprediksi kekuasaan akan semakin kuat, baik kekuasaan keuangan maupun administratif.
"Karena statusnya Pj, itu sudah kewenangan gubernur. Bedanya, belum defenitif, tapi dalam hal ini kewenangannya sudah penuh dimiliki oleh seorang gubernur, " tutur Andi Ali menjelaskan.
Ali pun menyinggung soal SK pemberhentian sementara itu yang seharusnya dikeluarkan Presiden Jokowi saat awal peradilan Nurdin Abdullah di Pengadilan Tipikor Makassar 22 Juli 2021, namun SK Pemberhentian Sementara baru diteken pada 12 Agustus 2021.
"SK Pemberhentian Sementara seharusnya sudah dilakukan ketika awal kasus ke pengadilan. Saya rasa terlambat, setelah Nurdin Abdullah sudah menjadi terdakwa, maka sudah harus pemberhentian sementara (dikeluarkan) iya kan. Nanti setelah inkrah baru pemberhentian permanen," katanya.
Saat ditanyakan apakah Nurdin Abdullah akan bebas dari jeratan hukum atas kasus suap itu, kata dia, belajar dari pengalaman kasus korupsi, 80 persen akan divonis bersalah di pengadilan, tapi tergantung dari putusan hakim.
"Biasanya kalau kasus tangkap tangan, kemungkinan besar akan terbukti bersalah, tapi kita tidak bisa berspekulasi karena memang belum ada (bukti). Tapi kalau kita retropeksi pengalaman sebelumnya, jarang lolos dari jeratan hukum apalagi ketika dia sudah menjadi bagian dari OTT (Operasi Tangkap Tangan) itu," beber Andi Ali.
Dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi A DPRD Sulsel, Arfandi Idris juga menanggapi SK pemberhentian sementara itu. Bahwa kewenangan penuh Plt gubernur belum sepenuhnya berlaku, sebab status Nurdin Abdullah baru diberhentikan sementara, sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Dengan demikian, kata politisi Golkar itu, Plt tidak dapat bertindak dan mengambil kebijakan sepenuhnya serta wewenang sebagai gubernur. Hal itu agar tidak menjadi masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta disampaikan tetap patuh dan tunduk dengan batasan pelaksanaan tugasnya.
"Seperti tidak dapat melakukan mutasi pejabat tanpa adanya izin dari Menteri Dalam Negeri termasuk menggunakan rumah jabatan Gubernur Sulsel," ucap Arfandi menegaskan.
"Saya rasa (SK pemberhentian sementara) ini akan merubah konstalasi politik di lingkungan provinsi karena perubahan kewenangan. Bahkan akan berimbas secara politik baik pada lingkungan birokrasi maupun konstalasi politik di Sulsel secara keseluruhan," ujarnya saat dikonfirmasi melalui telepon selularnya, Selasa.
Menurut dia, dengan pemberhentian sementara itu, serta status yang disandang Nurdin Abdullah sebagai terdakwa, maka kemungkinan besar jabatan Pelaksana tugas (Plt) gubernur yang kini dijabat Andi Sudirman Sulaiman, wakil Nurdin bisa saja naik menjadi Pejabat (Pj) Gubernur Sulsel.
Sehingga, konsekuensinya otoritas kewenangan terhadap status jabatan Pj akan semakin luas. Karena, dengan keluarnya SK presiden ini, tinggal menunggu waktu peralihan dari Plt menjadi Pj gubernur. Kendati demikian, maka diprediksi kekuasaan akan semakin kuat, baik kekuasaan keuangan maupun administratif.
"Karena statusnya Pj, itu sudah kewenangan gubernur. Bedanya, belum defenitif, tapi dalam hal ini kewenangannya sudah penuh dimiliki oleh seorang gubernur, " tutur Andi Ali menjelaskan.
Ali pun menyinggung soal SK pemberhentian sementara itu yang seharusnya dikeluarkan Presiden Jokowi saat awal peradilan Nurdin Abdullah di Pengadilan Tipikor Makassar 22 Juli 2021, namun SK Pemberhentian Sementara baru diteken pada 12 Agustus 2021.
"SK Pemberhentian Sementara seharusnya sudah dilakukan ketika awal kasus ke pengadilan. Saya rasa terlambat, setelah Nurdin Abdullah sudah menjadi terdakwa, maka sudah harus pemberhentian sementara (dikeluarkan) iya kan. Nanti setelah inkrah baru pemberhentian permanen," katanya.
Saat ditanyakan apakah Nurdin Abdullah akan bebas dari jeratan hukum atas kasus suap itu, kata dia, belajar dari pengalaman kasus korupsi, 80 persen akan divonis bersalah di pengadilan, tapi tergantung dari putusan hakim.
"Biasanya kalau kasus tangkap tangan, kemungkinan besar akan terbukti bersalah, tapi kita tidak bisa berspekulasi karena memang belum ada (bukti). Tapi kalau kita retropeksi pengalaman sebelumnya, jarang lolos dari jeratan hukum apalagi ketika dia sudah menjadi bagian dari OTT (Operasi Tangkap Tangan) itu," beber Andi Ali.
Dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi A DPRD Sulsel, Arfandi Idris juga menanggapi SK pemberhentian sementara itu. Bahwa kewenangan penuh Plt gubernur belum sepenuhnya berlaku, sebab status Nurdin Abdullah baru diberhentikan sementara, sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Dengan demikian, kata politisi Golkar itu, Plt tidak dapat bertindak dan mengambil kebijakan sepenuhnya serta wewenang sebagai gubernur. Hal itu agar tidak menjadi masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta disampaikan tetap patuh dan tunduk dengan batasan pelaksanaan tugasnya.
"Seperti tidak dapat melakukan mutasi pejabat tanpa adanya izin dari Menteri Dalam Negeri termasuk menggunakan rumah jabatan Gubernur Sulsel," ucap Arfandi menegaskan.