Jakarta (ANTARA) - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada tanggal 15 hingga 16 November 2022 di Bali, sukses menghasilkan Deklarasi Pimpinan (Leaders Declaration) dan memuat 52 poin utama sikap pemimpin anggota G20, yang pada poin ke-12 menekankan komitmen untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan poin ke-12 adalah mengenai pencapaian SGGs, nomor tujuh menyinggung soal akses terhadap energi dan menghilangkan kemiskinan akibat kekurangan akses terhadap energi.
Dalam konteks tersebut, Sri menyebut G20 berkomitmen untuk mempercepat penerapan dan pembangunan pembangkit listrik rendah emisi melalui energi baru terbarukan (EBT), seiring dengan mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap.
“Energi hijau itu tidak hanya subsidi tapi juga pendanaan untuk memensiunkan coal (batu bara) dan investasi di renewable energy,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Adapun, kesepakatan tersebut langsung diimplementasikan oleh negara-negara anggota G20, yang mana Indonesia memperoleh komitmen pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 20 miliar dolar AS (setara Rp310 triliun) dari negara-negara maju anggota G7, terutama Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
Ditambah, Indonesia memperoleh komitmen pendanaan transisi energi melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM) dari Asian Development Bank (ADB) sebesar 250-300 juta dolar AS (setara Rp3,87 triliun).
Komitmen nasional
Pendanaan transisi energi tersebut akan mendukung komitmen transisi energi Indonesia ke energi hijau untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs).
Pemerintah sebelumnya meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca dari 29 persen menjadi 31,89 persen pada tahun 2030 melalui kemampuan sendiri, sebagaimana tercatat dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Selain itu, target penurunan emisi gas rumah kaca dari hasil kerja sama internasional juga dinaikkan dari 41 persen menjadi 43,2 persen pada 2030 dalam dokumen itu.
Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat.
Berbagai komitmen tersebut merupakan upaya Indonesia untuk memimpin dengan contoh (lead by example) program transisi energi di tingkat global, seperti yang terus digaungkan dalam KTT G20.
Mengawal transisi energi
Melihat besarnya nilai pendanaan, seluruh pihak perlu mengawal proyek transisi energi agar alokasi anggaran tepat waktu dan tepat sasaran sehingga transisi energi ke energi hijau dapat sesuai dengan target penurunan emisi ENDC 2030 dan net zero emission 2060.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pelaksanaan pendanaan dan proyek transisi energi skema JETP dan ETM perlu dilakukan secara transparan dan rinci kepada publik (masyarakat).
JETP dan ETM tersebut berbentuk pinjaman, bukan investasi swasta murni. Pinjaman dari berbagai pihak sehingga harus menjunjung tinggi transparansi proyek apa yang akan didanai secara rinci kepada publik.
Oleh karena itu, peran keterlibatan publik (masyarakat) sangat penting dalam pendanaan dan proyek transisi energi di Indonesia.
“Diperlukan keterlibatan dari masyarakat untuk memilih proyek apa, landasannya seperti apa. Kalau pensiun dini, kenapa PLTU ini yang dipilih, bagaimana nilainya, dan lainnya,” kata Bhima.
Enam bulan ke depan diperkirakan merupakan periode krusial bagi Indonesia dalam penyusunan kerangka pendanaan transisi energi. Namun, sejauh ini Indonesia berkomitmen segera menyusun rencana aksi tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan dalam 6 bulan ke depan Indonesia memimpin penyusunan kerja sama dan rencana aksi untuk menghasilkan rencana investasi yang komprehensif serta mencantumkan target bersama yang nyata pendanaan transisi energi.
Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah menunjuk PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) sebagai Country Platform Energy Transition Mechanism (ETM) Manager dalam mengelola kerangka pendanaan dan pembiayaan transisi energi di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, perusahaan itu diminta untuk mengakomodasi perwakilan masyarakat yang terdampak oleh transisi energi sehingga aspek prinsip berkeadilan dapat terwujud.
Dalam 6 bulan ini sebaiknya Pemerintah sebaiknya membuka ruang setransparan mungkin, separtisipatif mungkin, terhadap mereka yang terdampak dari transisi energi.
Pembagian pendanaan transisi energi harus seimbang antara untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan proyek pembangunan sumber energi baru terbarukan (EBT).
“Dari sisi investasi, EBT juga membutuhkan dana yang tidak kecil sehingga jangan habis semua untuk pensiun dini PLTU karena nilainya disebut sebagai overvalued, terlalu jumbo untuk membayar satu pensiun dini PLTU,” kata Bhima.
Pendanaan transisi energi ini layak mendapat perhatian dan pengawalan oleh semua pihak, mengingat energi hijau berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru ekonomi nasional di masa mendatang.
Transisi energi dapat menjadi game changer, yang mana Indonesia memiliki peluang besar menjadi salah satu raksasa komoditas hijau (green commodity) dalam beberapa tahun mendatang.
“Setelah G20 yang akan menjadi salah satu game changer atau komoditas itu bukan lagi batu bara atau migas, melainkan green commodity,” kata Bhima.
Tulisan ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bersama mengawal pendanaan transisi energi