Optimalkan keanggotaan Indonesia di FATF guna perangi TPPU-TPPT
Jakarta (ANTARA) - Indonesia telah menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF) secara penuh setelah FATF Plenary Meeting di Paris, Perancis, pada 25 Oktober 2023, menerima Indonesia secara aklamasi sebagai anggota FATF yang ke-40.
Pengesahan keanggotaan Indonesia di FATF ini, adalah hasil perjuangan panjang setelah penetapan Indonesia sebagai Observer FATF sejak 29 Juni 2018.
Pengakuan internasional atas efektivitas regulasi, koordinasi dan implementasi rezim anti-pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan proliferasi senjata pemusnah massal (APUPPT PPSPM) itu diharapkan akan berdampak pada pesatnya pertumbuhan ekonomi melalui investasi baik dalam maupun luar negeri.
Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Financial Action Task Force (FATF) pada 5 April 2024.
Penerbitan Keppres tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) yang merupakan kejahatan lintas batas negara. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pemberantasannya perlu dilakukan komitmen internasional yang tercantum dalam standar internasional di bidang TPPU dan TPPT.
Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan perekonomian besar di dunia dinilai perlu untuk menjaga stabilitas ekonomi dan integritas sistem keuangan dari ancaman TPPU dan TPPT melalui kontribusi dan partisipasi aktif dalam FATF.
FATF adalah organisasi internasional yang berfokus pada upaya global dalam pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (PPSPM).
Dengan Indonesia menjadi anggota penuh FATF dan diterbitkannya Keppres Nomor 14 Tahun 2024, maka diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju tata kelola rezim anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang lebih baik di Tanah Air.
Harapan
Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pada Peringatan 22 Tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT), di Istana Negara, Jakarta, 17 April 2024, berharap keanggotaan penuh FATF dapat menjadi momentum yang baik untuk menguatkan komitmen pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Menjadi anggota FATF dinilai penting agar kredibilitas ekonomi meningkat, dan persepsi mengenai sistem keuangan semakin baik dan positif, sehingga mendorong berbondong-bondongnya investasi masuk ke Indonesia. Oleh sebab itu, reputasi dan penilaian dunia internasional sangat penting.
Menjadi anggota FATF bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, pengakuan dunia internasional atas efektivitas regulasi, koordinasi, dan implementasi terhadap APU-PPT dengan menjadi anggota FATF tersebut patut diapresiasi.
Walaupun demikian, penanganan TPPU tetap perlu diupayakan. Penanganan TPPU harus dilakukan secara komprehensif, membangun kerja sama internasional, memperkuat regulasi dan transparansi, menegakkan hukum yang tanpa pandang bulu, serta terus memanfaatkan perkembangan teknologi. Apalagi pola baru berbasis teknologi dalam TPPU terus berkembang.
Kementerian/lembaga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perlu meningkatkan sinergi dan tetap berinovasi agar tidak kalah canggih untuk bergerak cepat memerangi TPPU dan TPPT.
Namun demikian, upaya penyelamatan dan pengembalian uang negara juga tetap diperlukan, sehingga DPR RI didorong untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset, dan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Uang Kartal.
Tindak Lanjut
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sekaligus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa penetapan Indonesia sebagai anggota penuh FATF memberikan peluang untuk aktif secara langsung dalam perumusan standar internasional terkait pencegahan dan pemberantasan TPPU, TPPT, maupun PPSPM.
Namun demikian, sebagai anggota penuh FATF, maka Indonesia harus memenuhi kewajibannya, sehingga membutuhkan penguatan anggaran belanja pada masing-masing kementerian/lembaga terkait hal tersebut. Penguatan biaya operasional dalam rangka peningkatan kualitas data informasi dan sumber daya manusia juga diperlukan.
Selanjutnya, perbaikan tata kelola dan efektivitas gerakan APU-PPT dan PPSPM yang berkelanjutan dilakukan melalui pemenuhan pelaporan Follow-Up Report (FUR) FATF. Kemudian, penguatan kelembagaan internal masing-masing kementerian/lembaga diperlukan agar meningkatkan peran aktif Indonesia di forum internasional FATF.
Adapun Rencana Aksi Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU-TPPT dan PPSPM Tahun 2024 telah ditetapkan sebagai pedoman nasional dalam menentukan strategi dan kebijakan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam memitigasi risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM, maupun ancaman baru yang terus berkembang.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menambahkan bahwa sejak Indonesia ditetapkan menjadi anggota penuh FATF pada Oktober 2023, maka telah dibentuk tim bersama untuk tindak lanjut keanggotaan penuh tersebut yang melibatkan 16 kementerian/lembaga anggota dan 7 kementerian/lembaga non-anggota Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Komite tersebut juga telah melakukan berbagai langkah pengarusutamaan gerakan APU-PPT dan PPSPM dalam kegiatan kementerian/lembaga melalui Surat Keputusan Menko Polhukam.
Sementara itu, pengamat hukum pidana Universitas Padjadjaran, Dr Sigid Suseno SH Mhum, mengatakan bahwa keanggotaan penuh Indonesia di FATF perlu dioptimalkan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencegahan dan penegakan hukum TPPU.
Menjadi anggota penuh FATF membuat Indonesia mendapatkan dukungan atau bantuan dari 39 anggota lainnya dalam konteks pencegahan dan penegakan hukum. Kerja sama internasional sangat dibutuhkan mengingat TPPU bersifat transnasional, terutama yang berkaitan dengan aset kripto.
Oleh sebab itu, anggota FATF yang lain nantinya dapat menyediakan saksi, ahli, maupun alat bukti untuk Indonesia dalam konteks penanganan TPPU yang berkaitan dengan aset kripto atau yang berkaitan dengan siber.
Selain itu, pengoptimalan keanggotaan penuh di FATF perlu dilakukan mengingat kekhawatiran yang disampaikan Presiden Jokowi mengenai pola baru TPPU, seperti melalui pasar aset kripto. TPPU dan perkembangannya perlu diperhatikan secara serius, sehingga penegakan-penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana asal tetap dapat berjalan efektif.
Koordinasi dan kolaborasi dari aspek pencegahan sampai penindakan antarpenegak hukum juga diperlukan untuk mengatasi TPPU yang dinilai selalu beradaptasi. Terlebih, TPPU dapat menjadi modal untuk melakukan kejahatan lain, seperti narkotika maupun terorisme.
Regulasi tambahan juga perlu, seperti Undang-Undang Perampasan Aset, yang dinilai dapat menjadi sarana efektif penegak hukum untuk bisa menelusuri uang-uang hasil kejahatan.
Senada dengan hal tersebut, pakar keamanan dan terorisme Universitas Indonesia sekaligus Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, M Syauqillah memandang perlu pemerintah menguatkan sinergi terkait dengan penanggulangan penanganan pendanaan terorisme.
Keanggotaan penuh Indonesia di FATF yang berfokus pada pendanaan terorisme juga dinilai menjadi momentum untuk menguatkan terus koordinasi antarkementerian/lembaga terkait hal tersebut.
Bahkan, penangkapan delapan orang terduga terafiliasi sebagai anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Sulawesi Tengah pada beberapa waktu lalu menandakan jaringan teror masih terus berjalan. Padahal, saat ini Indonesia dianggap dalam situasi yang kondusif atau zero terrorist attack (tidak ada serangan teroris terbuka). Pemerintah tidak boleh lengah terhadap upaya-upaya penggalangan dana kelompok teroris.
Oleh karena itu, pengoptimalan keanggotaan penuh FATF benar-benar dibutuhkan demi penegakan hukum anti-pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, maupun menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Pengesahan keanggotaan Indonesia di FATF ini, adalah hasil perjuangan panjang setelah penetapan Indonesia sebagai Observer FATF sejak 29 Juni 2018.
Pengakuan internasional atas efektivitas regulasi, koordinasi dan implementasi rezim anti-pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan proliferasi senjata pemusnah massal (APUPPT PPSPM) itu diharapkan akan berdampak pada pesatnya pertumbuhan ekonomi melalui investasi baik dalam maupun luar negeri.
Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Financial Action Task Force (FATF) pada 5 April 2024.
Penerbitan Keppres tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) yang merupakan kejahatan lintas batas negara. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pemberantasannya perlu dilakukan komitmen internasional yang tercantum dalam standar internasional di bidang TPPU dan TPPT.
Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan perekonomian besar di dunia dinilai perlu untuk menjaga stabilitas ekonomi dan integritas sistem keuangan dari ancaman TPPU dan TPPT melalui kontribusi dan partisipasi aktif dalam FATF.
FATF adalah organisasi internasional yang berfokus pada upaya global dalam pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (PPSPM).
Dengan Indonesia menjadi anggota penuh FATF dan diterbitkannya Keppres Nomor 14 Tahun 2024, maka diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju tata kelola rezim anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang lebih baik di Tanah Air.
Harapan
Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pada Peringatan 22 Tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT), di Istana Negara, Jakarta, 17 April 2024, berharap keanggotaan penuh FATF dapat menjadi momentum yang baik untuk menguatkan komitmen pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Menjadi anggota FATF dinilai penting agar kredibilitas ekonomi meningkat, dan persepsi mengenai sistem keuangan semakin baik dan positif, sehingga mendorong berbondong-bondongnya investasi masuk ke Indonesia. Oleh sebab itu, reputasi dan penilaian dunia internasional sangat penting.
Menjadi anggota FATF bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, pengakuan dunia internasional atas efektivitas regulasi, koordinasi, dan implementasi terhadap APU-PPT dengan menjadi anggota FATF tersebut patut diapresiasi.
Walaupun demikian, penanganan TPPU tetap perlu diupayakan. Penanganan TPPU harus dilakukan secara komprehensif, membangun kerja sama internasional, memperkuat regulasi dan transparansi, menegakkan hukum yang tanpa pandang bulu, serta terus memanfaatkan perkembangan teknologi. Apalagi pola baru berbasis teknologi dalam TPPU terus berkembang.
Kementerian/lembaga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perlu meningkatkan sinergi dan tetap berinovasi agar tidak kalah canggih untuk bergerak cepat memerangi TPPU dan TPPT.
Namun demikian, upaya penyelamatan dan pengembalian uang negara juga tetap diperlukan, sehingga DPR RI didorong untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset, dan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Uang Kartal.
Tindak Lanjut
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sekaligus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa penetapan Indonesia sebagai anggota penuh FATF memberikan peluang untuk aktif secara langsung dalam perumusan standar internasional terkait pencegahan dan pemberantasan TPPU, TPPT, maupun PPSPM.
Namun demikian, sebagai anggota penuh FATF, maka Indonesia harus memenuhi kewajibannya, sehingga membutuhkan penguatan anggaran belanja pada masing-masing kementerian/lembaga terkait hal tersebut. Penguatan biaya operasional dalam rangka peningkatan kualitas data informasi dan sumber daya manusia juga diperlukan.
Selanjutnya, perbaikan tata kelola dan efektivitas gerakan APU-PPT dan PPSPM yang berkelanjutan dilakukan melalui pemenuhan pelaporan Follow-Up Report (FUR) FATF. Kemudian, penguatan kelembagaan internal masing-masing kementerian/lembaga diperlukan agar meningkatkan peran aktif Indonesia di forum internasional FATF.
Adapun Rencana Aksi Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU-TPPT dan PPSPM Tahun 2024 telah ditetapkan sebagai pedoman nasional dalam menentukan strategi dan kebijakan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam memitigasi risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM, maupun ancaman baru yang terus berkembang.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menambahkan bahwa sejak Indonesia ditetapkan menjadi anggota penuh FATF pada Oktober 2023, maka telah dibentuk tim bersama untuk tindak lanjut keanggotaan penuh tersebut yang melibatkan 16 kementerian/lembaga anggota dan 7 kementerian/lembaga non-anggota Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Komite tersebut juga telah melakukan berbagai langkah pengarusutamaan gerakan APU-PPT dan PPSPM dalam kegiatan kementerian/lembaga melalui Surat Keputusan Menko Polhukam.
Sementara itu, pengamat hukum pidana Universitas Padjadjaran, Dr Sigid Suseno SH Mhum, mengatakan bahwa keanggotaan penuh Indonesia di FATF perlu dioptimalkan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencegahan dan penegakan hukum TPPU.
Menjadi anggota penuh FATF membuat Indonesia mendapatkan dukungan atau bantuan dari 39 anggota lainnya dalam konteks pencegahan dan penegakan hukum. Kerja sama internasional sangat dibutuhkan mengingat TPPU bersifat transnasional, terutama yang berkaitan dengan aset kripto.
Oleh sebab itu, anggota FATF yang lain nantinya dapat menyediakan saksi, ahli, maupun alat bukti untuk Indonesia dalam konteks penanganan TPPU yang berkaitan dengan aset kripto atau yang berkaitan dengan siber.
Selain itu, pengoptimalan keanggotaan penuh di FATF perlu dilakukan mengingat kekhawatiran yang disampaikan Presiden Jokowi mengenai pola baru TPPU, seperti melalui pasar aset kripto. TPPU dan perkembangannya perlu diperhatikan secara serius, sehingga penegakan-penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana asal tetap dapat berjalan efektif.
Koordinasi dan kolaborasi dari aspek pencegahan sampai penindakan antarpenegak hukum juga diperlukan untuk mengatasi TPPU yang dinilai selalu beradaptasi. Terlebih, TPPU dapat menjadi modal untuk melakukan kejahatan lain, seperti narkotika maupun terorisme.
Regulasi tambahan juga perlu, seperti Undang-Undang Perampasan Aset, yang dinilai dapat menjadi sarana efektif penegak hukum untuk bisa menelusuri uang-uang hasil kejahatan.
Senada dengan hal tersebut, pakar keamanan dan terorisme Universitas Indonesia sekaligus Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, M Syauqillah memandang perlu pemerintah menguatkan sinergi terkait dengan penanggulangan penanganan pendanaan terorisme.
Keanggotaan penuh Indonesia di FATF yang berfokus pada pendanaan terorisme juga dinilai menjadi momentum untuk menguatkan terus koordinasi antarkementerian/lembaga terkait hal tersebut.
Bahkan, penangkapan delapan orang terduga terafiliasi sebagai anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Sulawesi Tengah pada beberapa waktu lalu menandakan jaringan teror masih terus berjalan. Padahal, saat ini Indonesia dianggap dalam situasi yang kondusif atau zero terrorist attack (tidak ada serangan teroris terbuka). Pemerintah tidak boleh lengah terhadap upaya-upaya penggalangan dana kelompok teroris.
Oleh karena itu, pengoptimalan keanggotaan penuh FATF benar-benar dibutuhkan demi penegakan hukum anti-pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, maupun menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi nasional.