Makassar (Antara Sulsel) - Proyek pembangunan bendungan Kareloe berada di dua Kabupaten Gowa dan Jeneponto, Sulawesi Selatan, kembali disoal lantaran siapa yang bertanggungjawab sampai proyek tersebut mangkrak selama tiga tahun.
"Memang proyek itu mandek karena masalah pembebasan lahan, sampai saat ini menjadi soal karena belum berjalan, padahal anggarannya bersumber dari APBN dengan total senilai Rp500 miliar lebih," sebut Sekretaris Komisi D DPRD Sulsel, Ariady Arsal di Makassar, Jumat.
Menurutnya, proyek ini sudah dibahas di komisi D DPRD Sulsel, sejak 2012, kemudian ditindaklanjuti hingga ke pusat bertujuan untuk mensejahterakan rakyat di Jeneponto karena kekurangan air. Anggaran awal pun cair mencapai Rp42 miliar lebih pada 2013 dari estimasi seluruh pembangunan Rp2 triliun.
Selanjutnya, proses pembebasan lahan pun jalan, dan pada 2014 proyek ini pun mendapat suntikan dana senilai Rp200 miliar lebih, kemudian pada 2015 kembali mendapat tambahan dana Rp164,7 miliar lebih, hingga pada 2016 anggaran masih dikucurkan senilai Rp140,6 miliar lebih, dengan total keseluruhan anggaran Rp584,4 miliar lebih.
"Seluruh anggaran itu saat ini masih dititip di pengadilan untuk konsinasi karena berperkara. Setahu saya awalnya proyek itu dorong Anis Matta selaku anggota DPR RI kala itu dari Sulsel, namun sayang proyek ini tidak berjalan sesuai perencanaan," beber politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Sebenarnya lanjut dia, tidak seharusnya menjadi masalah jika semu pihak terkait duduk bersama mencarikan solusi, karena ini menyangkut hidup orang banyak di Jeneponto.
Mengenai dengan adanya perseteruan antara legislator sama-sama dari Daerah Pemilihan Kabupaten Jeneponto yakni Syamsuddin Karlos anggota DPRD Sulsel dengan Muhktar Tompo anggota DPR RI terkait dengan madeknya proyek tersebut, kata dia, seharusnya DPR mendorong agar persoalan ini selesai, bukan saling menyalahkan.
"Seharusnya anggota DPR RI yang mendorong agar masalah ini selesai karena kewenangan pusat, bukan malah menyalahkan Pemerintah Provinsi apalagi DPRD Sulsel. Dulunya kan Muhktar Tompo anggota DPRD Sulsel, tapi bukan di Komisi D, jadi tidak terlalu paham teknisnya. Sebaiknya ini dicarikan jalan keluar," harap dia.
Sebelumnya, dua putra daerah asal Jeneponto sama-sama menjadi anggota dewan yakni Syamsuddin Karlos di DPRD Sulsel asal partai PAN dan Mukhtar Tompo di DPR RI dari partai Hanura berseteru, hal itu dikarenakan mandeknya pekerjaan proyek Bendungan Kareloe.
Mukhtar menyebutkan usai reses di Dapilnya mendengarkan keluhan masyarakat, lalu menuturkan bila bendungan tersebut belum rampung hingga tahun ini maka akan menjadi kegagalan besar Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo di akhir masa jabatan dua periodenya. Proyek tersebut dulunya merupakan janji politik yang tidak kunjung diselesaikan.
"Kalau tidak selesai tahun ini, masyarakat disana tidak lagi kecewa, tetapi marah. Proyek ini kan dirancang Syahrul saat itu menjabat Bupati Gowa, lalu menjadikan pembangunan bendungan itu sebagai program dan mengantarkannya jadi Wakil Gubernur hingga menjadi Gubernur dua periode," tuturnya.
Pernyataan inipun kemudian ditanggapi keras Syamsuddin Karlos, bukan karena kedekatannya dengan Syahrul, tetapi tersinggung seolah-olah Pemerintah Daerah tidak berbuat apa-apa melaksanakan proyek itu. Seharusnya, kata dia, Mukhtar Tompo tahu bahwa proyek tersebut menggunakan APBN dan harus didorong penyelesaiannya.
"Saya minta Mukhtar tidak bicara sembarangan mencari kambing hitam pada proyek itu. Kami sudah bekerja maksimal bahkan memanggil Balai Pompengan Jeneberang membahas soal ini. Harusnya dia tahu diri, sebagai anggota DPR di pusat bisa membantu," tutur Politisi Fraksi PAN Sulsel tersebut.
Diketahui, pembangunan Bendungan Kareloe mulai dilaksanakan pada 2013 lalu, ada 1.089 bidang tanah yang harus dibebaskan dengan luas sekitar 228 hektare, terbagi di tiga kecamatan yakni Kelara, Rumbia di Jeneponto dan Moncongloe di Kabupaten Gowa.
Hal ini kemudian bersoal, karena harga tanah yang dibayarkan kepada masyarakat tidak sesuai dengan harapan warga, karena ada dugaan permainan dalam pembebasan lahan tersebut.
Bila mengacu pada Petunjuk dan Teknis (Juknis) Nomor 306 tentang standar penilaian publik untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum, warga terkena dampak proyek merasa di tipu.
Beberapa warga pemilik lahan tidak dilibatkan dalam pertemuan membahas harga tanah, namun tiba-tiba dibayar atas dasar persetujuan kepala dusun setempat, akhirnya warga menolak.