Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPP dan PA) Provinsi Papua Anike Rawar saat di Wamena, Minggu, mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua mengakui keberadaan adat namun sanksi adat saja tidak cukup bagi pelaku KDRT.
Ketika penyelesaian kasus dilakukan secara adat, pelaku yang melakukan kejahatan ini akan melakukan kejahatan kepada orang lain.
"Tidak hilang. Karena mereka (pelaku) berpikir nanti juga bisa dibayar dengan babi, uang dan kami tidak mau itu terjadi lagi. Kalau perlu harus diberikan efek jerah, hukum pelaku," katanya.
Sejak enam bulan awal di tahun 2017, ada 2.000 kasus yang dilaporkan. "Kasus-kasus ini tersebar di Provinsi Papua dan Papua Barat dan jumlah ini sangat tinggi," katanya.
Anike mengatakan, sebagian kasus KDRT tidak sempat dilaporkan kepada pihak terkait dan diharapkan masyarakat melaporkan jika menemukan adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Sebenarnya banyak kasus yang terjadi, cuma banyak masyarakat takut melapor karena itu masalah suami-istri," katanya.
Ia memastikan setiap laporan tentang KDRT akan ditindaklanjuti hingga pelaku menerima sanksi yang setimpal.
"Kami dari unit pelayanan terpadu ibu dan anak terus mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap ibu dan anak sampai ke pihak berwajib dan putusan pengadilan. Jadi memang benar-benar kami kerjakan sesuai tupoksi," katanya.