IKA Fisip Unhas bahas gestur Pilgub Sulsel
Gestur itu adalah gerakan spontan kandidat. Makanya, terkadang kandidat terlihat jelas gestur tubuhnya apakah itu alami atau dibuat-buat untuk pencitraan
Makassar (Antaranews Sulsel) - Ikatan Alumni (IKA) Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Hasanuddin mengelar diskusi bulanan seri II dengan membahas gestur politik Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel.
"Gestur itu adalah gerakan spontan kandidat. Makanya, terkadang kandidat terlihat jelas gestur tubuhnya apakah itu alami atau dibuat-buat untuk pencitraan," sebut pemateri Das`as Latif di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.
Pemateri lainnya Mohd Sabri AR mengatakan dalam timbangan semiotika, misalnya tubuh diletakkan tidak semata-mata sebagai objek, tetapi medium komunikasi dalam penyampaian pesan.
Di titik ini lanjut dia, tubuh dikonversi menjadi tanda yakni tanda tubuh sebagai jangkar percakapan semiotika tubuh yang mengandaikan tubuh sebagai penanda sosial.
Di sisi lain tambah Mohd Sabri, tubuh juga dikonversi sebagai kumpulan sebuah teks yakni kumpulan galaksi tanda untuk mengekspresikan bila konsep atau narasi tertentu. Disini tubuh diandaikan sebuah citra atau kode untuk memberikan makna pada komuditas.
"Ada perlakuan 'Tau' (orang) disini dimana gestur atau penyampaian pesannya melalui tubuh maupun gerakan tetapi tidak terkesan disengaja tetap langsung terbaca dengan objeknya yaitu orang lain," papar dia.
Selain itu dari empat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, tentu masing-masing memiliki gestur tersendiri. Kendati demikian simbol atau tanda-tanda yang dimiliki masing-masing pasangan calon tentu tidak bisa dijadikan pencitraan.
"Semua pasangan calon punya simbol masing-masing sebagai penandanya dengan tangan, tapi tidak berarti simbol yang digunakan orang bagian dari penandanya atau kelompoknya. Namun hal itu hanya sebagai simbol bukan bagian dari pencitraan," ulas pengamat komunikasi Unhas itu.
Sedangkan narasumber lainnya, Alwi Rachman menyebutkan bahwa bila digiring kedalam kultur budaya Sulsel, simbol-simbol yang dibawa masing-masing kandidat tentu mempunyai makna tersendiri, tetapi hal itu bukan menjadi keharusan.
"Ada elaborasi budaya yang dibawa, tetapi bukan berarti itu menjadi hak paten bagi mereka, hanya sebagai simbol semata. Seharusnya semua kandidat memberikan edukasi budaya kepada masyarakat kita, sebab ini penting bagi keberlangsungan kebudayaan kita dalam pendidikan politik secara positif," tambah tokoh budayawan Sulsel itu.
Tidak hanya ketiga narasumber mengemukakan pendapatnya, hadir pula dalam diskusi tersebut Ketua IKA Komunikasi Fisip Unhas, Suhardi Duka yang juga mantan Bupati Mamuju, Sulawesi Barat dan sejumlah dosen komunikasi serta alumni. Diskusi itu bekerja sama Departeman Fisip Unhas dan dipandu moderator DR Hasrullah MA.
"Gestur itu adalah gerakan spontan kandidat. Makanya, terkadang kandidat terlihat jelas gestur tubuhnya apakah itu alami atau dibuat-buat untuk pencitraan," sebut pemateri Das`as Latif di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.
Pemateri lainnya Mohd Sabri AR mengatakan dalam timbangan semiotika, misalnya tubuh diletakkan tidak semata-mata sebagai objek, tetapi medium komunikasi dalam penyampaian pesan.
Di titik ini lanjut dia, tubuh dikonversi menjadi tanda yakni tanda tubuh sebagai jangkar percakapan semiotika tubuh yang mengandaikan tubuh sebagai penanda sosial.
Di sisi lain tambah Mohd Sabri, tubuh juga dikonversi sebagai kumpulan sebuah teks yakni kumpulan galaksi tanda untuk mengekspresikan bila konsep atau narasi tertentu. Disini tubuh diandaikan sebuah citra atau kode untuk memberikan makna pada komuditas.
"Ada perlakuan 'Tau' (orang) disini dimana gestur atau penyampaian pesannya melalui tubuh maupun gerakan tetapi tidak terkesan disengaja tetap langsung terbaca dengan objeknya yaitu orang lain," papar dia.
Selain itu dari empat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, tentu masing-masing memiliki gestur tersendiri. Kendati demikian simbol atau tanda-tanda yang dimiliki masing-masing pasangan calon tentu tidak bisa dijadikan pencitraan.
"Semua pasangan calon punya simbol masing-masing sebagai penandanya dengan tangan, tapi tidak berarti simbol yang digunakan orang bagian dari penandanya atau kelompoknya. Namun hal itu hanya sebagai simbol bukan bagian dari pencitraan," ulas pengamat komunikasi Unhas itu.
Sedangkan narasumber lainnya, Alwi Rachman menyebutkan bahwa bila digiring kedalam kultur budaya Sulsel, simbol-simbol yang dibawa masing-masing kandidat tentu mempunyai makna tersendiri, tetapi hal itu bukan menjadi keharusan.
"Ada elaborasi budaya yang dibawa, tetapi bukan berarti itu menjadi hak paten bagi mereka, hanya sebagai simbol semata. Seharusnya semua kandidat memberikan edukasi budaya kepada masyarakat kita, sebab ini penting bagi keberlangsungan kebudayaan kita dalam pendidikan politik secara positif," tambah tokoh budayawan Sulsel itu.
Tidak hanya ketiga narasumber mengemukakan pendapatnya, hadir pula dalam diskusi tersebut Ketua IKA Komunikasi Fisip Unhas, Suhardi Duka yang juga mantan Bupati Mamuju, Sulawesi Barat dan sejumlah dosen komunikasi serta alumni. Diskusi itu bekerja sama Departeman Fisip Unhas dan dipandu moderator DR Hasrullah MA.