Palu (ANTARA) - Aziz Daming (45), warga di Jalan Sungai Manonda Kota Palu, sore itu sedang membenahi rumahnya. Dibantu istrinya, ayah dua puteri itu memasang lisplang rumah panggungnya yang baru ia tempati beberapa bulan lalu.

Rumah Aziz Daming sebelumnya dibangun permanen. Dua lantai dan terbilang mewah di antara rumah sekitarnya. Rumah yang dibangun tahunan secara bertahap itu hancur seketika digoyang gempa. Tidak ada yang bisa dipertahankan, kecuali bekas-bekas pondasi yang sudah centang perenang. Yang lain, rusak total dan sebagian perabot hilang karena dijarah.

Rumah itu hanya berjarak kurang dari 50 meter arah utara dari area likuefaksi Balaroa, salah satu titik likuefaksi terparah yang menenggelamkan lebih dari seribu rumah dan bangunan lainnya beserta isi dan pemiliknya.

Ujung barat dari Jalan Sungai Manonda ini terhubung dengan Jalan Gunung Gawalise, jalan lingkar luar Palu yang ikut diseret likuefaksi. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan zona merah gempa. Pemerintah telah mengeluarkan larangan untuk membangun kembali pemukiman di sekitarnya.

"Saya bangun kembali rumah di atas bekas rumah sebelumnya karena tidak ada lokasi lain. Saya mau bangun dimana lagi, terpaksa saya harus kembali ke lokasi ini," kata Aziz.

Untuk membangun kembali rumah panggung, Aziz setidaknya telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp80 juta. Ia memilih rumah panggung karena dianggap lebih ramah dan elastis ketika diguncang gempa.

Aziz tidak sendirian. Beberapa orang tetangganya juga sudah membangun kembali rumahnya di atas bekas rumah sebelumnya. Bahkan ada yang membangun permanen. Hanya sekitar 250 meter dari rumah Aziz, berdiri kokoh industri peternakan sapi.

Meski sebagian penduduk telah mengosongkan rumahnya, tetapi sebagian memilih kembali dan bertahan di atas jalur patahan sesar palu koro dan ancaman likuefaksi itu.

Kapling lokasi likuefaksi

Dari beranda belakang rumah panggung Azis, terlihat jelas hamparan bekas likuefaksi seluas hampir 50 hektare. Pemandangan bebas hambatan itu menegaskan daerah itu bekas bencana dahsyat yang menggulung 1.045 unit bangunan dan fasilitas publik serta infrastruktur.

Saat gempa mengguncang, Aziz dan warga yang selamat lainnya menyaksikan bangunan dan pepohonan bergerak seperti berjalan di atas tanah, lalu tertimbun dan sebagian terangkat ke udara. Inilah sebuah peristiwa dahsyat yang memantik banyak perhatian dunia internasional.

Kini di atas bekas likuefaksi itu telah ditumbuhi pepohonan hijau. Sebagian sudah ada yang mengkapling dengan memagar kayu. Kapling-kapling itu berjejer rapi, seperti diukur untuk layaknya kapling perumahan. Tidak diketahui siapa yang mengkapling lahan-lahan itu.

Sekretaris Forum Korban Bencana Balaroa Agus Manggona mengakui masih ada sebagian warga yang tidak ingin meninggalkan Balaroa dan ingin tetap bertahan di kawasan itu sebab zona itu saat ini dalam status abu-abu karena belum ada hukum yang menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan terlarang.

Untuk menjawab berbagai wacana yang berkembang terkait status zona rawan bencana di Kota Palu tersebut, sebuah forum perkumpulan orang banyak 'Libu Todea' Kota Palu, akhirnya menggelar dialog bertajuk 'Zona Merah Milik Siapa'.

Dialog yang digelar pada Rabu (14/8) malam itu berlangsung serius hingga berlanjut Kamis (15/8) dini hari. Hadir sebagai pembicara Kepala Dinas Tata Ruang Kota Palu Dr Rizal Abd Rauf dan pakar hukum tata negara Universitas Tadulako Palu Dr Aminuddin Kasim.

Pembicara lainnya pakar lingkungan Universitas Tadulako Dr Amiruddin, dua perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah, serta berbagai unsur terkait dan perwakilan berbagai organisasi korban bencana.

Menurut Rizal, peta zona bencana terdiri dari zona merah, zona kuning dan orange yang dikeluarkan sejumlah lembaga tersebut masih dalam status quo.

Zona itu kata dia, tidak diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu sebelumnya sehingga dianggap belum memiliki dasar hukum yang kuat.

"Wali Kota Palu belum membicarakan secara khusus masalah zona merah itu karena saat ini kita masih fokus mengurus pengungsi," katanya.

Menurut Rizal, untuk kepastian status hukum zona-zona rawan bencana tersebut, harus menunggu revisi RTRW menjadi peraturan daerah. Pemerintah telah membentuk tim revisi RTRW dan saat ini sedang bekerja merampungkan kerjanya.

"Ini mungkin RTRW tercepat di dunia, sebab idealnya proses penetapan RTRW itu dua tahun," katanya.

Rizal mengatakan berdasarkan kesepakatan beberapa lembaga, kecuali BMKG telah menetapkan zona rawan bencana tersebut dalam beberapa klasifikasi. Zona tsunami misalnya, garis zona merah sepanjang 200 meter dari bibir pantai.

Masalahnya, sebagian fasilitas berupa gedung IAIN Palu, gedung pusat perbelanjaan terbesar di Palu, dan beberapa hotel di Palu, masuk dalam garis zona merah tsunami.

Sementara zona sempadan patahan sesar palu koro minimal 10 meter ke kanan dan 10 meter ke kiri. Terkait zona merah kata Rizal, pemerintah melarang membangun kembali dan membangun bangunan baru.

"Itulah kajian secara ilmiah, tetapi kan banyak sisi lain juga harus diperhatikan seperti sisi sosialnya. Di sinilah dilema pemerintah," katanya.

Kepastian Hukum

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Tadulako Palu Aminuddin Kasim mengatakan bencana gempa disusul tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018 menyisakan banyak masalah hukum. Terkait status tanah di zona likuefaksi Balaroa dan Petobo menurut Aminuddin, hingga kini belum ada kepastian hukumnya.

"Makanya tidak heran kalau BMKG misalnya, tidak mau menandatangani peta zona rawan bencana tersebut karena berimplikasi secara hukum," katanya.

Menurut Aminuddin, negara bisa masuk dalam kasus ini melalui pintu Undang-Undang Agraria bahwa tanah dikuasai oleh negara, bukan berarti dimiliki oleh negara tetapi harus melalui pendataan ruang.

"Saya tidak setuju kalau tanah itu dikuasai oleh negara, tanpa ada kejelasan dasar hukumnya. Tidak cukup dengan peraturan daerah," katanya.

Aminuddin lebih cenderung menjadikan tanah-tanah di zona merah itu berfungsi sosial dengan dasar hukum yang kuat dan harus ada ganti untung kepada korban.

"Kalau negara terlambat dan ada sesuatu yang terjadi sebelum ada dasar hukumnya, maka saya anggap negara gagal," katanya.

Sementara itu, Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Tanah BPN Kota Palu, Rahab mengatakan tanah-tanah di zona rawan bencana saat ini masih hak milik masyarakat sesuai dengan surat kepemilikannya.

"Status tanah itu secara fisik berubah karena adanya pergeseran, tetapi secara administrasi masih tetap menjadi milik dari masyarakat," katanya.

Secara teknis kata dia, BPN bisa menunjukkan batas-batas tanah tersebut, tetapi BPN belum bisa melakukan itu karena belum ada keputusan dari pemerintah mengenai statusnya.

"Sampai sekarang belum ada keputusan pemerintah untuk menghapus kepemilikan, sehingga masih status milik masyarakat," katanya.

Menurut Rahab, pemanfaatan tanah-tanah di zona merah itu masih dalam status quo karena belum ada sikap resmi dari pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, Pembantu Rektor II IAIN Palu Dr Kamarudin mengatakan IAIN saat ini sedang membangun kembali gedung yang sebagian besar rusak karena dihajar tsunami. Tetapi kata dia, IAIN berusaha menyesuaikan himbauan pemerintah terutama terkait dengan batas-batas zona merah.

"Makanya kami tidak menggunakan lagi gedung rektorat karena itu masuk dalam garis zona merah," katanya.

Dia mengatakan dari 34 ruang kelas yang ada sebelumnya, IAIN terpaksa melepas 18 kelas karena masuk dalam garis zona merah. Gedung-gedung itu dibangun kembali setelah mendapat bantuan dari Bank Pembanguna Asia/ADB sebesar Rp119 miliar.

Menurut Kamarudin, IAIN juga membangun kembali gedungnya setelah mendapat persetujuan dari Kementerian PUPR.

Kamarudin mengaku IAIN dalam posisi serba salah. Satu sisi tetap dibutuhkan kehadirannya untuk mencerdaskan generasi bangsa, namun di sisi lain berada di depan Teluk Palu yang dinyatakan sebagai zona merah rawan bencana.

"Apapun keputusan pemerintah kami dari IAIN legowo," katanya.

Baca juga: 1.659 rumah di Palu terkena garis patahan

Baca juga: Zona merah bencana diminta tidak dijadikan daerah pemukiman

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019