Tidak ada Indonesia kalau tidak ada Papua, tidak ada Indonesia kalau tidak ada Malang. Kita sesungguhnya adalah satu kesatuan.
Padang (ANTARA) - Matahari sepertinya sedang murah hati sehingga memberikan lebih banyak panas hari itu, Kamis (22/8). Sejak siang, gerah sudah tidak tertahankan di Kota Padang, Sumatera Barat. Bergerak sedikit saja, peluh langsung berceceran.

Padang memang sudah tidak hujan sejak sebulan terakhir. Panasnya luar biasa terasa. Hujan sepertinya enggan untuk singgah agak sebentar. Nun di pinggir pantai, pohon cemara udang yang baru ditanam untuk benteng alami dari tsunami sudah meranggas.

Namun Padang masih agak mendingan. Air sumur dan sungai masih mengalir. Beberapa daerah lain malah lebih parah, bahkan ada yang sudah lebih dari sebulan tidak turun hujan. Ratusan hektare sawah terancam gagal panen.

Sumbar sudah sangat butuh hujan. Tanah-tanah rengkah sudah sekarat kehausan. Bahkan, sawah sudah banyak yang berubah menjadi lapangan.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Iklim Sicincin Sumbar kekeringan itu masih bisa berlanjut karena terjadi penurunan curah hujan di provinsi itu, tidak hanya di daratan, tetapi juga di daerah pesisir.

Kapan hujan itu akan datang?

Lalu tiba-tiba, hujan itu benar-benar datang. Hari itu juga. Setelah matahari tenggelam atau hanya beberapa saat setelah lampu panggung dinyalakan.

Panggung itu didirikan di halaman Kantor Gubernur Sumbar. Halaman luas itu disulap menjadi sebuah panggung megah dengan penerangan yang juga menawan. Maklum, acaranya skala nasional. Penghargaan Kepala Daerah Inovatif (KDI) 2019. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno juga mendapat penghargaan.

Rintik sebenarnya sudah jatuh satu-satu sejak adzan Isya selesai berkumandang. Namun tidak terlalu mengganggu, apalagi prediksi BMKG malam itu akan cerah.

Namun saat pembawa acara baru saja naik ke panggung, rintik itu tiba-tiba menjadi gerimis. Di bawah kilau lampu, gerimis itu terlihat seolah goresan samar penuh warna yang memukau.

Beberapa orang mencoba bertahan di bawah gerimis, namun gerimis tidak berhenti. Ia lalu jadi hujan hingga 27 kepala daerah yang sudah menduduki meja VVIP di depan pentas dipaksanya untuk "menyelamatkan diri" dari curahan berkah itu.

Diselingi permohonan maaf dari tuan rumah, acara terpaksa dipindahkan ke Aula Kantor Gubernur yang memang selalu siap untuk digunakan, meskipun dadakan.

Aula itu kental dengan nuansa Minangkabau. Sekeliling dihiasi ukiran-ukiran khas yang biasanya terdapat di Rumah Gadang, rumah adat Minang.

Namun bukan itu yang menarik perhatian. Dalam aula itu agak ke belakang, di antara puluhan undangan yang sibuk mencari tempat duduk, terlihat dua orang kepala daerah yang berbincang santai penuh kehangatan. Mereka terlihat akrab. Perbincangan sesekali diselingi tawa.

Perbincangan dua kepala daerah sebenarnya bukan hal yang luar biasa, meski mereka datang dari provinsi berbeda. Tapi dua orang itu adalah Bupati Puncak, Papua, Willem Wandik, dan Wali Kota Malang, Jawa Timur, Sutiaji.

Papua dan Malang beberapa hari terakhir telah menjadi berita utama di hampir seluruh media di Indonesia. Bentrok antara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Malang dengan warga telah menyulut bara di banyak daerah. Aksi demonstrasi tumbuh di Bumi Papua dan beberapa berakhir ricuh.

Namun malam ini, bara itu, bara yang menyulut api, tiba-tiba terasa padam tidak bersisa, di tengah hujan jauh di pesisir barat Sumatera. Pada ranah yang dulu pernah berdarah-darah memperjuangkan keutuhan NKRI di bawah bendera Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), bara itu seolah disiram oleh ribuan ton salju abadi di Puncak Jaya, Papua.

Wilem dan Sutiaji berangkul damai. Tidak ada dendam. Tidak ada amarah yang berlebih-lebihan. Ada rasa satu bangsa yang tiba-tiba menyeruak ruang hati melihat keakraban itu. "Tidak ada Indonesia kalau tidak ada Papua, tidak ada Indonesia kalau tidak ada Malang. Kita sesungguhnya adalah satu kesatuan," kata Sutiaji.

Sungguh, rasa satu bangsa, satu tanah air, tersulut menjadi api kebanggaan di dalam dada. Api itu memberangus segala perbedaan. Apa itu Jawa? Apa itu Minang? Apa Itu Papua? - Kita Indonesia.

Rasa itukah yang kemudian mengetuk pintu langit? Hingga Sang Maha Besar menurunkan berkah di Tanah Minangkabau? Menurunkan hujan melepas dahaga, setelah lama tanah-tanah merekah, pohon-pohon meranggas?

"Ini berkah. Hujan ini berkah. Damai ini berkah. Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke. Seharusnya kita bersyukur. Kita luar biasa di bawah naungan Pancasila," kata Bupati Willem.
Bupati Puncak, Papua Willem Wandik dan Wali Kota Malang, Jawa Timur, Sutiaji terlihat akrab saat bertemu di Padang. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha)

Di luar ruangan, hujan makin deras. Berkah itu tidak tanggung-tanggung datangnya. Willem berharap berkah itu yang akan terus menyatukan Indonesia sebagai satu-satunya bangsa yang terdiri dari seribu suku bangsa dan bahasa di bawah panji Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.

Persoalan yang terjadi dengan mahasiswa Papua di Kota Malang adalah bagian dari dinamika demokrasi. Ia meminta penegak hukum bisa tegas menindak oknum yang mencoba meruntuhkan keutuhan Indonesia, siapapun orangnya, dipihak manapun ia berada agar persoalannya tidak menyebar menjadi disintegrasi.

Menurutnya pandangan dari segelintir orang yang mengatasnamakan Papua tidak berarti pandangan semua orang Papua. Pandangan segelintir orang yang salah menilai tetang Papua, juga bukan padangan seluruh masyarakat di Indonesia.

Media sosial dengan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, pandangan pribadi yang datang dari pemahaman yang tidak menyeluruh membuat distorsi informasi sehingga membuatnya "membesar".

Wali Kota Malang Sutiaji mengatakan generasi muda papua yang kuliah di Malang adalah yang terbaik. Dia berharap semua bisa lulus dengan baik dan ikut membangun bangsa.

Ia yakin persatuan Indonesia adalah sebuah kebhinekaan dan sebuah keniscayaan. Semua saling mengisi dan menguatkan.

Damai yang terlihat jelas antara dua tokoh berbeda suku, tetapi satu dalam Indonesia itu, juga membuat Plt Dirjen Otonomi Daerah Akmal Malik tercengang.

Sejak awal ia memang ingin mengajak tokoh-tokoh dari Papua dan dari Malang yang datang ke Padang hari itu untuk bertemu khusus dan berdialog tentang kondisi bangsa. Ia ingin mendamaikan.

"Saya tidak menyangka. Saya baru berencana, dua tokoh ini sudah duduk semeja. Sudah berbicara dengan hati terbuka dalam damai," katanya.

Di luar, hujan telah berhenti. Tanah telah terbasahi. Haus telah tersirami. Acara itu kembali dilanjutkan di panggung utama. Panggung megah yang akan menasbihkan 27 kepala daerah yang penuh inovasi dalam memimpin daerahnya.

Udara tidak lagi gerah. Berkah hujan telah membuat udara terasa sejuk. Sesejuk pertemuan dua tokoh dari Papua dan Malang di Padang. Akankan pertemuan itu menjadi permulaan berkah bagi Papua? Malang? Padang? Indonesia?

Akahkan damai itu akan menjadi bibit dan kecambah, tumbuh rindang menjadi penyejuk untuk semua anak bangsa?

Yang pasti, ini pesan damai dari Padang untuk semua, Indonesia.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019