Ini menjadi gerakan perubahan supaya mendorong pelaku usaha kuliner non-UMKM menggunakan elpiji nonsubsidi, khususnya Bright Gas
Pekanbaru (ANTARA) - Aroma harum kopi nan menggoda begitu identik di kedai kopi klasik, yang bertahan di tengah gempuran usaha sejenis dengan bentuk yang lebih modern dan pragmatis.

Mengusung Bengkalis sebagai nama kebesaran, nyatanya Kedai Kopi Bengkalis yang berada di salah satu sudut Kota Pekanbaru itu terus berkembang. Lintas generasi menjadi segmen utama yang menjadikan kedai kopi khas Melayu menjadi pilihan.

Sabtu akhir pekan, kedai itu tampak penuh pengunjung. Tua, muda, laki-laki, perempuan bercengkerama ria berbagi cerita.

Secangkir kopi khas Bengkalis dan beragam olahan makanan tradisional tersaji rapi di meja. Tak heran, omzet rata-rata setiap harinya mencapai Rp7 juta atau saat ramai kunjungan seperti ini hingga dua kali lipatnya.

Kedai kopi Bengkalis yang digandrungi beragam kalangan itu sejatinya menyimpan seribu cerita. Berdiri pada 2015, perjalanan panjang kedai kopi itu diawali secara sederhana.

Tidak ada mesin penggiling kopi otomatis layaknya kafe kenamaan. Hanya sepasang kompor gas, teko besi, dandang raksasa, serta beberapa tabung gas melon menjadi senjata utama.

Kini, tak kurang 200 cangkir kopi tersaji setiap hari. Ratusan pinggan makanan olahan khas Riau, seperti mi sagu, kwetiau, ubi, dan pisang kipas hingga sate Bengkalis laris habis.

Tak hanya masyarakat, pejabat pemerintah mulai dari bupati, gubernur, hingga tokoh kenamaan Sandiaga Salahuddin Uno pun terkesan dengan sajian Kopi Bengkalis.

Pada akhirnya, Sandi yang selalu menyempatkan diri mampir saat berkunjung ke kampung kelahirannya itu, menjuluki Kopi Bengkalis sebagai Kobeng. Nama itu terus melekat hingga kini.

"Move on" merupakan kata kunci sukses bisnis kuliner tersebut. Muhammad Halimi selaku pengelola, mengaku pada awal berdiri Kobeng hanya menempati satu pintu rumah toko.

Dua tahun lalu, usahanya sempat dirazia petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Pekanbaru dan Pertamina.

Masalahnya, Kobeng menggunakan tabung elpiji melon. Meski razia itu hanya berupa teguran, Kobeng diminta berbenah. Tinggalkan elpiji melon bersubsidi dan beralih ke si tabung gas "pink" (merah muda) berisi 5,5 kilogram.

"Waktu itu kami memang tidak tahu ada aturan seperti itu karena tidak dapat sosialisasi juga. Kemudian saat diminta beralih juga ada kekhawatiran. Apakah nanti bakal masih untung? Apakah bisa tertutupi belanja modal," kata Halimi, pemuda 34 tahun yang merupakan alumnus bergelar sarjana ekonomi dari Universitas Riau tersebut kepada ANTARA.

Kekhawatiran itu sangat berdasar. Sebab, harga secangkir kopi yang ditawarkan di kedai itu hanya Rp8.000. Begitu juga kudapan lain yang ditawarkan dengan harga terjangkau.

Namun, peraturan tetaplah peraturan, meskipun dengan keterpaksaan. Belakangan ternyata "move on" justru menjadi titik balik menuju kemenangan. Segala kekhawatiran tak terbukti. Yang ada malah keberuntungan untuk terus maju ke depan, meski harga awal terus dipertahankan.

"Dua tahun terakhir beralih menggunakan Bright Gas. Pertama karena larangan karena ini bukan lagi usaha kecil," ujarnya.

Dua tahun berjalan, Halimi justru menikmati dampak positif. Dia mengaku perputaran pergantian tabung gas tak terlalu cepat seperti sebelumnya. Jika sebelumnya setiap hari menghabiskan satu hingga dua tabung gas melon, si tabung "pink" bertahan hingga tiga hari.

Selanjutnya, Halimi merasa menggunakan si "pink" Bright Gas juga lebih hemat dan efesien. Terlebih, pangkalan dan agen memberikan servis antarjemput gas secara gratis. Selain itu, faktor keselamatan menjadi pertimbangan utama Halimi untuk tetap merasa nyaman.

Fitur Katup Ganda DSVS (Double Spindle Valve System) membuat Bright Gas lebih aman dalam mencegah kebocoran pada kepala tabung. Untuk menjamin kualitas dan ketepatan isi, Bright Gas juga dilengkapi dengan Segel Hologram dengan fitur OCS (Optical Color Switch) yang telah memperoleh paten dan tidak dapat dipalsukan.

Halimi juga mengatakan pada tabung Bright Gas terdapat sticker safety penggunaan tabung sehingga karyawannya dapat lebih tersosialisasikan bagaimana cara memasang dan menggunakan tabung yang benar.

“Bright Gas sudah dilengkapi dengan segel hologram, sehingga isinya lebih terjamin dan konsumen bisa langsung mengetahui apakah tabung elpiji tersebut asli atau tidak,” ujarnya.

Bright Gas kemudian menjadi saksi kunci perkembangan Kobeng yang hingga kini terus berkembang setelah mengakuisisi gedung ruko persis di sebelahnya. Pelanggan terus bertambah seiring dengan kualitas yang terus terjaga.

Manfaat Bright Gas tak hanya dirasakan pedagang. Ibu rumah tangga juga merasakan manfaat yang sama.

Imelda Yusra, ibu muda beranak satu itu misalnya, mengaku telah menggunakan Bright Gas sejak setahun terakhir.

Kelangkaan elpiji melon menjadi penyebab dia pindah menggunakan gas "pink" yang menurut dia justru membuat dapurnya lebih berwarna.

Kini, Imelda justru jatuh cinta dengan birunya api si tabung "pinky".

"Seharusnya sejak awal saya menggunakan Bright Gas karena lebih hemat dan efisien," kata perempuan yang juga tengah merambah usaha kuliner berbasis daring itu.

                                                            Dirasakan
Kisah "move on" Kobeng dan Imelda juga dirasakan ribuan pedagang lainnya di Kota Pekanbaru.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (DPP APJI) Iden Gobel di Pekanbaru medio 2019 menjelaskan porsi penggunaan elpiji subsidi yang ditujukan bagi masyarakat miskin di Riau, saat ini mencapai 85 persen.

Angka itu jauh lebih besar dibandingkan dengan penggunaan elpiji nonsubsidi yang hanya 15 persen.

Padahal, menelisik data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, jumlah penduduk miskin di Riau hanya 7,21 persen pada September 2018.

Karena itu, kepedulian dan kesadaran kelompok masyarakat mampu beralih menggunakan elpiji nonsubsidi terus digaungkan Pertamina, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain, termasuk penggunaan elpiji nonsubsidi bagi pelaku usaha yang tidak termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Salah satunya diwujudkan melalui deklarasi penggunaan elpiji nonsubsidi oleh APJI di Pekanbaru, belum lama ini.

"Ini menjadi gerakan perubahan supaya mendorong pelaku usaha kuliner non-UMKM menggunakan elpiji nonsubsidi, khususnya Bright Gas," katanya.

Dukungan serupa juga disampaikan Asisten I Sekretaris Daerah Pemprov Riau Ahmadsyah Harrofie yang mendorong Pertamina meluaskan penggunaan Bright Gas

"Kami mendorong agar penggunaan elpiji lebih tepat sasaran. Masyarakat mampu dan usaha non-UMKM, jangan lagi gunakan elpiji bersubsidi," ujarnya.

Dengan beragam keunggulan serta dukungan baik dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat maka Pertamina Marketing Operasional Regional (MOR) I pada 2019 pun berani memasang target tinggi.

Sebanyak 17.000 tabung "pink" ditargetkan dapat disalurkan setiap bulan di Kota Pekanbaru. Angka itu melonjak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Konsumsi Bright Gas tercatat 14.100 tabung setiap bulan di "Kota Madani" itu.

Roby Hervindo, Unit Manager Communication & CSR Pertamina MOR I Sumatera Bagian Utara mengatakan khusus di Pekanbaru, konsumsi Bright Gas menunjukkan tren positif. Kesadaran masyarakat akan faktor efisiensi dan praktis menjadi penentu.

“Kami targetkan distribusi Bright Gas di Pekanbaru naik menjadi 17.000 tabung per bulan," katanya.

Untuk mencapai target itu, pihaknya melakukan sejumlah upaya, misalnya mewajibkan pangkalan menjual elpiji melon untuk juga menyediakan si cantik "pink" agar lebih mudah dijangkau masyarakat.

Langkah yang dilakukan oleh Halimi, Pertamina MOR I, pemerintah daerah, termasuk APJI pada akhirnya membantu masyarakat yang membutuhkan, di antaranya 600 lebih nelayan di Kabupaten Kampar, Riau kini telah merasakan manfaat menggunakan tabung gas melon saat mencari ikan.

Nelayan kecil Desa Buluh Cina, Kabupaten Kampar beruntung yang menerima alat pengubah konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) atau konverter kit dari MOR I.

Alat itu membantu hidup mereka keluar dari jerat kesulitan yang selama ini mendera. Pada akhirnya, alat itu membantu meningkatkan taraf ekonomi pesisir, khususnya di Riau.

Dengan menggunakan konverter kit Liqufied Petroleum Gas (LPG) ini, nelayan kecil dapat mengurangi konsumsi BBM, sehingga akan memberikan energi yang lebih bersih serta lebih aman.

                                                           Kurangi subsidi
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan peningkatan tren penggunaan elpiji nonsubsidi produksi Pertamina, Brigth Gas 5,5 kg dan 12 kg berdampak positif mengurangi beban pengeluaran pemerintah, berupa subsidi.

Ketua Harian YLKI Sularsi mengatakan peningkatan konsumsi Bright Gas menandakan kesadaran masyarakat mulai tumbuh untuk menggunakan elpiji nonsubsidi. Kondisi tersebut harus dipertahankan, antara lain melalui peningkatan pengawasan terhadap elpiji bersubsidi.

"Kita berharap, masyarakat dan pemerintah melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap konsumsi elpiji subsidi," katanya.

Pengawasan yang ketat, menurut dia, sangat penting karena bisa mendukung distribusi elpiji 3 kg agar lebih tepat sasaran, terlebih lagi, distribusi saat ini masih menggunakan sistem terbuka.

Selama Ramadan dan Idul Fitri 2019, penggunaan Bright Gas mengalami peningkatan dibandingkan dengan konsumsi rata-rata harian pada periode yang sama 2018.

Konsumsi Bright Gas 5,5 kilogram meningkat 21 persen, sedangkan 12 kilogram meningkat tujuh persen dari rata-rata konsumsi harian pada periode Ramadan dan Idul Fitri 2018.

Peningkatan volume konsumsi Bright Gas 5,5 kilogram pada periode Ramadan dan Idul Fitri 2019 sebesar 49.000 kilogram per hari atau mendekati 9.000 tabung per hari dibandingkan dengan periode yang sama pada  2018.

Untuk Bright Gas 12 kilogram rata-rata konsumsi naik 2.000 tabung per hari dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Baca juga: DPR apresiasi masyarakat gunakan elpiji nonsubsidi meningkat
Baca juga: PT Pertamina dorong masyarakat menengah gunakan elpiji nonsubsidi


 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019