Palu (ANTARA) - Bencana gempa disertai likuefaksi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018 telah berlalu. Namun, akibat perisitiwa itu masih meninggalkan dampak yang cukup parah bagi lapisan dan elemen masyarakat, termasuk petani.

Kekeringan dan kesulitan air menjadi salah satu problem utama dan sangat mendasar bagi petani di Sigi. Hal itu mayoritas petani di Sigi mengandalkan air yang berasal dari irigasi. Sementara, irigasi dan infastruktur penunjang sektor pertanian, termasuk lahan, rusak total karena terdampak gempa 7,4 SR disertai pergeseran tanah.

Karena itu, tanah kering, tandus dan bergelombang menjadi salah satu tantangan terberat bagi petani di daerah itu dalam upaya menggarap lahan pertanian mereka pascabencana gempa dan likuefaksi.

Atas kondisi itu, banyak lahan pertanian yang sebelum bencana merupakan lahan potensial, kini berubah menjadi lahan tidur, karena kering dan tandus. Salah satunya di Desa Karawana Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi.

Di desa itu, luas lahan pertanian 265 hektare, namun yang dapat di tanami atau dimanfaatkan hanya tiga hektare untuk tanaman hortikultura, jagung pakan 13 hektare. Selebihnya tidak bisa dimanfaatkan oleh petani karena kondisinya kering.

"Iya, ini karena dampak dari bencana yang mengakibatkan kerusakan irigasi sebagai penyuplay utama air bagi petani. Mayoritas petani bergantung air dari irigasi itu saat sebelum bencana," kata Kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Dolo Siti Darwisa.

BPP Kecamatan Dolo mencatat terdapat tiga desa di wilayahnya yang cukup parah mengalami kesulitan air pascabencana. Tiga desa itu meliputi Karawana, Potoya dan Desa Solouwe.

Sulitnya mendapatkan air yang diakui Kepala BPP Kecamatan Dolo tidak hanya memberikan dampak terhadap perubahan fungsi lahan dari lahan potensial pertanian menjadi lahan tidur, tetapi juga membuat petani beralih ke profesi lain.

"Sebagian dari petani akhirnya beralih menjadi buruh bangunan, tukang, driver ojek, menjadi buruh tambang, ada juga sebagian pergi ke Palu mencari kerja di sana. Sebagiannya lagi pergi menggarap lahan pertanian milik warga di desa lain," kata Siti Darwisa.

BPP Kecamatan Dolo mencatat jumlah petani di wilayah itu mulai 1.000 - 1.500 orang dengan luas lahan pertanian 1.100 hektare untuk tanaman hortikultura. Dari ribuan hektare luas lahan pertanian itu, yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian pascalikuefaksi hanya sekitar kurang lebih 300 hektare.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah Trie Iriany Lamakampali mengemukakan akibat bencana itu kerusakan daerah irigasi yang kurang lebih melayani 8.000 hektare lahan, menyebabkan sebagian besar lahan pertanian di Kecamatan Gumbasa, Dolo, Biromaru dan Tanambulava, menjadi kering sehingga dibutuhkan perhatian serius pemerintah sambil menunggu perbaikan infrastruktur.

Selain karena kerusakan infastuktur dan sarana prasarana penunjang sektor pertanian, wilayah Kabupaten Sigi yang masuk dalam durasi musim kemarau juga menambah tingkat kesulitan petani untuk mendapatkan air.

Stasiun Meteorologi Kelas II Mutiara Sis Aljufri Palu melaporkan ada ancaman kekeringan seiring musim kemarau sejak Mei - Oktober, untuk wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.

Berdasarkan laporan Stasiun Meteorologi Kelas II Palu bahwa empat daerah tersebut, juga termasuk dalam daerah yang mengalami peralihan musim dari musim kemarau ke musim hujan, atau sebaliknya dari musim hujan ke musim kemarau di mulai dari Agustus hingga Oktober.

Meskipun demikian, Stasiun Meteorologi Kelas II Palu menyebut kemarau yang terjadi masih dalam kategori normal. Walaupun masih kategori normal, namun terasa lebih terik untuk wilayah Palu dan sekitarnya. Hal itu dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya yaitu panas yang terpusat di Kota Palu dan sekitarnya, berdampak pada rendahnya kelembapan.

Sehingga kondisi panas terasa lebih terik. Kelembapan Kota Palu berkisar 30 - 40 persen pada siang hari. Di daerah lain 40 - 50 persen. Karena itu, suhu yang terpantau 33 - 37 derajat celcius, di siang hari.

"Panas dan tingkat kelembapan yang rendah, itu yang menyebabkan terjadinya kekeringan di beberapa wilayah," ujar Koordinator Analisa dan Pengolahan Data Stasiun Meteorologi Kelas II Mutiara Sis Aljufri, Affan Nugraha Diharsya.

Sementara Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapata mengatakan ada beberapa kecamatan di Sigi, seperti Biromaru, Dolo, Tanambulava dan Gumbasa yang mengalami dampak besar dari bencana gempa bumi dan likuefkasi.

Di empat wilayah tersebut banyak lahan pertanian yang hancur diporak-porandakan oleh gempa.Bahkan irigasi Gumbasa yang selama ini menjadi sumber utama pasokan air ke sawah-sawah dan areal pertanian lainnya hingga kini masih rusak total dan sedang diperbaiki oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR. Banyak petani di wilayah itu yang hingga kini tidak bisa menggarap lahan pertanian mereka yang selain tanahnya rusak berantakan, juga kesulitan air, sebab irigasi belum berfungsi.


Membuat Sumur

Selama ini sbagian besar masyarakat di Sigi penghidupannya bergantung pada sektor pertanian. "Tuntutan kehidupan dan kebutuhan hidup yang membuat kami mau atau tidak harus kembali bertani. Karena kami petani, disini kami bergantung hidup," ucap Ketua Kelompok Tani Karya Mandiri Desa Kota Rindau Kecamatan Dolo, Agil.

Menafkahi istri dan anak, serta tanggung jawab membiayai kebutuhan pendidikan anak, secara langsung membuat petani di Sigi, termasuk Agil, harus berusaha keras agar lahan pertanian miliknya dapat membuahkan hasil untuk penghidupan, walaupun di tengah kesulitan air.

Di Desa Kota Rindau, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, salah satu upaya yang dibangun oleh petani agar keluar dari dampak kekeringan dan krisis air ialah membuat sumur dangkal dan sumur suntik.

"Biaya untuk membuat sumur mulai dari Rp2 juta sampai Rp5 juta/sumur, tergantung dari kedalaman," ucap Agil.

Ia menyebut, membuat sumur dangkal dan sumur suntik merupakan inisiatif dari Kelompok Tani Karya Mandiri yang beranggotakan 20 petani. Lewat sumur yang mereka buat, air bisa sampai ke lahan garapan seluas kurang lebih 25 hektare.

"Untuk 25 hektare lahan pertanian ini, maka kami buat 12 sumur dangkal dan lima sumur suntik," kata Agil.

Berkat sumur tersebut, petani dalam kelompok itu kembali menanam benih dan bibit yang saat ini telah memasuki masa panen.

Membangun sumur suntik dan sumur dangkal, menurut Kelompok Wanita Tani Mekar Bersama Desa Langaleso, memang menjadi salah satu solusi yang efektif. Namun, tidak semua kelompok tani dan petani secara individu mampu membuat sumur dangkal dan sumur suntik.

Karena itu, Kelompok Wanita Tani Mekar Bersama yang beranggotakan 22 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan mengupayakan pembuatan sumur dangkal. Lahan garapan mereka seluas 11 hektare di Desa Langaleso, yang bisa digarap hanya lime hektare dari keseluruhan luasan lahan itu.

"Iya, jadi agar lahan bisa digarap maka harus usaha. Usaha itu berupa minjam atau membeli alkon. Selain itu menunggu hujan," kata anggota Kelompok Wanita Tani Mekar Bersama Desa Langaleso Kecamatan Dolo, Lisma.

Terkait hal itu Kepala BPP Kecamatan Dolo Siti Darwisa menyatakan di Dolo terdapat 11 desa yang semunya memiliki lahan potensial untuk pertanian. Namun, untuk membangkitkan lahan pertanian itu pascabencana dan musim kemarau ini, tidaklah mudah bagi petani.

"Problemnya adalah tidak semua petani punya modal untuk membuat sumur, membeli alkon, selang air dan semua peralatan lainnya. Ini lah tantangan terbesarnya," sebut dia.

Karena itu, BPP Kecamatan Dolo berharap problem ini harus diselesaikan secara bersama oleh semua pihak terkait, mulai pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.


Bantu Petani

Berbagai pihak memberikan perhatian kepada masyarakat di Kota Palu, Sigi dan Kabupaten Donggala (Pasigala) serta Parigi Moutong setelah bencana gempa, tsunami disertai likuefaksi menghantam empat wilayah itu.

Salah satu lembaga yang serius memberikan bantuan kepada masyarakat, khususnya sektor pertanian, ialah Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau FAO yang fokus kerjanya meliputi wilayah Pasigala.

​​​​​​​FAO telah mendistribusikan 430 ton pupuk, lebih dari 7 ton benih jagung, tomat, dan cabai rawit, dan lebih dari 500 ribu meter mulsa plastik kepada petani di Palu, Sigi dan Donggala.

Di Sigi, ada 4.687 petani di 67 desa yang disentuh oleh FAO. Salah satu desa itu ialah Langaleso yang terdapat 10 kelompok tani atau 499 orang petani. Dari sepuluh kelompok itu dua di antaranya merupakan kelompok wanita tani.

Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau FAO ingin menjadikan hortikultura sebagai sumber pendapatan bagi petani.

"Petani-petani yang separuh waktu mengandalkan pendapatannya dari hortikultura. Kalau padi dan lain sebagainya untuk makanan mereka, tetapi pendapatan itu dari kespro-nya. Kespronya apa? dari hortikultura. Karena itu, kami menginginkan hortikultura menjadi sumber penghidupan, pendapatan yang segera pulih kembali," kata Asisten FAO Representative di Indonesia - Program, Ageng Herianto.

FAO lewat Ageng mengakui bahwa kendala utama petani di daerah terdampak bencana ialah air, karena semua fasilitas rusak. Oleh karena itu, bantuan yang diberikan, yakni bibit hortikultura yang tidak terlalu banyak membutuhkan air dalam prosesnya. Selanjutnya, mendorong petani untuk membuat sumur dangkal dan sumur suntik.

Ia juga mengakui bahwa FAO tidak melaksanakan program peningkatan sumber daya manusia dalam pengolahan pertanian dikarenakan berdasarkan hasil penelitian di lapangan, umumnya petani di Sigi telah mengetahui cara mengembangkan dan mengelola lahan serta jenis komoditi.
​​​​​​​
"Awalnya ada program ini, namun berdasarkan hasil itu maka kami alihkan untuk penambahan jumlah penerima manfaat," sebut dia.
Salah satu lahan potensial pertanian di Wilayah Kecamatan Biromaru, tidak dapat dimanfaatkan kembali oleh petani karena kesulitan air. Selain lahan potensial itu begelombang karena terdampak likuefaksi (ANTARA/Muhammad Hajiji)



















 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019