Tapi tidak menutup kemungkinan sekolah satu atap hingga ke jenjang SMA.
Ranai (ANTARA) - Senyuman ramah penuh kehangatan menyungging dari wajah Muhammad Siddik (48), warga Kampung Segeram, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Kamis.

Kala itu, kampung yang belum dialiri listrik itu didatangi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, Bupati Natuna A Hamid Rizal, dan Yayasan Bakti Nusantara. "Ini pertama kalinya, menteri datang ke kampung kami," kata Siddik.

Kampung Segeram berada sisi barat Pulau Natuna, kawasan utara yang berbatasan dengan sejumlah negara. Siddik mengaku gembira, pasalnya kedatangan rombongan pejabat tersebut untuk meresmikan sekolah satu atap SMPN 3 Satap (satu atap) Kampung Segeram. Itu merupakan satu-satunya sekolah di kampung yang dihuni 35 kepala keluarga itu.

SMPN 3 Kampung Segeram, satu atap dengan SDN 010 Kampung Segeram. Sebelumnya, kata Siddik, SD itu merupakan satu-satunya sekolah di kampung itu.

Sebelum ada SMP, anak-anak di kampung itu harus pindah ke desa lain setelah lulus SD. Ada yang pindah ke kota kecamatan yang terletak di Pulau Sedanau, ada juga yang memilih ke kecamatan lain, yakni Desa Kelarik yang ada di Bunguran Utara atau ke ibu kota Natuna, Ranai.

Untuk ke Pulau Sedanau, membutuhkan waktu tempuh satu jam dengan kapal kayu. Sedangkan untuk ke Desa Kelarik membutuhkan waktu tempuh dua jam dan tiga jam ke Ranai.

Sebagian anak terpaksa putus sekolah karena tidak ada biaya untuk sekolah, dan sebagian lagi bagi yang memiliki biaya bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya.

"Banyak warga Segeram yang pindah ke kampung sebelah untuk menemani anaknya sekolah. Makanya warga kampung ini cuma segini-gini aja," kata dia.

Baca juga: Mendikbud : Sekolah satu atap solusi pendidikan di daerah 3T

Baca juga: Sekolah satu atap sangat membantu masyarakat Natuna

 

Sekolah Berasrama Satu Atap di Wilayah Perbatasan




Rajut asa

Adanya sekolah satu atap itu disambut baik oleh Radika Wulandari. Jalan untuk menggapai cita-citanya, terbuka lebar. Sejak ada sekolah itu yang beroperasi pada 2018 itu, ia bisa melanjutkan sekolah tanpa harus keluar dari kampung.

"Alhamdulillah sudah ada SMP, saya bisa sekolah di Kampung Segeram," kata Wulan, panggilannya.

Wulan yang memiliki cita-cita menjadi guru olahraga tersebut, mengatakan akan belajar dengan baik sehingga bisa meraih cita-cita dan mengabdi di kampung halaman.

Setiap hari, Wulan berangkat sekolah berjalan kaki sejauh dua kilometer, melewati hutan di kampung tersebut. Namun, semua itu tak masalah baginya. Tekadnya kuat ingin menjadi guru olahraga.

Lain halnya dengan Wahyu Kurniawan, yang memiliki cita-cita menjadi dokter dan kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi. "Tidak ada seorang pun dokter di sini, kami terpaksa berobat ke bidan kalau sakit."

Kampung Segeram merupakan salah satu kampung yang ada di Kabupaten Natuna yang belum dialiri listrik. Untuk penerangan, warga setempat menggunakan lampu dari panel surya yang tak menyala saat cuaca hujan.

Akses internet di wilayah itu pun belum tersambung. Infrastruktur seperti jalan raya yang menghubungkan Kampung Segeram dan Ranai pun amat memprihatinkan.

Ketua RW Kampung Segeram, Faisal, mengatakan kampung itu kerap terpinggirkan dan terlupakan. Dermaga kayu yang ada di kampung itu dibuat pada tahun 2000-an dan sampai sekarang belum ada rencana membangun dermaga beton.

"Ada tiga hal yang kami pinta pada pemerintah. Pertama, akses jalan penghubung perlu diperbaiki, kondisi saat ini masih rusak. Kedua, adanya akses internet di kampung ini dan ketiga adanya aliran listrik dari PLN," kata Faisal.

Faisal menambahkan beban hidup masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, semakin berat karena harus membeli dan mengoperasikan genset. Selain itu,  dia juga meminta agar di daerah itu dibangun SMA.

Baca juga: Mendikbud resmikan sekolah satu atap di daerah terpencil

Baca juga: Mendikbud apresiasi laboratorium komputer di daerah terpencil Natuna



Solusi daerah 3T

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan sekolah satu atap yang terdiri dari jenjang pendidikan SD dan SMP merupakan solusi pendidikan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).

"Sekolah satu atap merupakan solusi pendidikan di daerah 3T yang populasi siswanya sebetulnya tidak mencukupi, tapi kalau digabung sekolah induk terlalu jauh," kata Muhadjir.

Kondisi geografis juga turut mempengaruhi mengapa diperlukan sekolah satu atap atau satap. Mendikbud memberi contoh di Papua dan Papua Barat, sekolah satu atap juga menyediakan asrama karena rumah siswanya jauh dari sekolah. Kemudian kondisi geografis juga tidak memungkinkan untuk pulang pergi.

Namun, untuk di Kampung Segeram, tidak ada asrama karena berdekatan dengan rumah warga. Sekolah atap di Segeram itu terdiri dari SD 010 Kampung Segeram dan SMPN 3 Kampung Segeram.

"Kalau tempat tinggal siswa banyak yang jauh, seperti di Papua dan Papua Barat, kami bikinkan asrama. Akan tetapi tidak seluruh siswa, hanya siswa yang jauh dari sekolah saja."

Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA), Mendikbud menyarankan siswa di daerah 3T mengambil pendidikan kesetaraan atau paket C.

"Tapi tidak menutup kemungkinan sekolah satu atap hingga ke jenjang SMA," kata dia lagi.

Hingga saat ini, jumlah sekolah satu atap mencapai 4.172 sekolah. Sekolah tersebut dibangun di pelosok dengan tujuan, memberikan akses pendidikan pada anak-anak di daerah 3T. Menurut Mendikbud, negara harus hadir memberikan layanan pendidikan hingga ke ujung negeri sekalipun.*

Baca juga: Mendikbud minta BOS tidak digunakan untuk bayar gaji

Baca juga: Mendikbud ajak sekolah manfaatkan Rumah Belajar

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019