Palu (ANTARA) - Sektor perhotelan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, perlahan-lahan mulai bangkit setelah setahun pascabencana gempa, tsunami disertai likuefaksi menimpa kota tersebut pada 28 September 2018 lalu.

Pantauan Antara di lapangan, hotel-hotel berbintang mulai berbenah mengembalikan peran dan fungsinya, seperti Santika Hotel Palu, Jazz Hotel, Swissbel Hotel di Silae, Best Western Coco Hotel Palu di Jalan Basuki Rahmat.

Walaupun belum semua ruangan dan sarana penunjang hotel selesai diperbaiki, namun hotel-hotel tersebut sebagian fasilitasnya telah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan tamu dari luar kota Palu dan Sulteng.

Hotel Santika Palu, misalkan. Sebagian fasilitasnya seperti kamar dan lainnya masih dalam perbaikan. Walaupun begitu, hotel tersebut telah dapat dimanfaatkan, bahkan beberapa pejabat dari kementerian telah menginap di hotel tersebut, dan menggunakan fasilitas ballroom untuk kegiatan mereka, begitu juga dengan Swissbel Hotel Palu di Silae dan Best Western Coco Hotel Palu.

Tentu jauh dengan sebelum bencana gempa, tsunami dan likuefaksi menimpa Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.

Baca juga: Kemenpar sebut lebih 200 kamar hotel di Palu terdampak gempa
Baca juga: Perhotelan Palu butuh dukungan pemerintah untuk bangkit

"Bencana gempa, tsunami dan likuifaksi yang melanda Palu, Sigi, Donggala dan Parimo Sulawesi Tengah, menjadi pukulan telak bagi sektor pariwisata dan perhotelan yang tengah menggeliat. Usaha jasa hotel maupun usaha jasa wisata lainnya di sejumlah destinasi yang ada di kota Palu dan sekitar nya, cenderung melesu," kata Pemerhati, Praktisi Pariwisata dan Perhotelan Sulteng Bulyadi Achmad.

  Sekretaris PHRI Sulteng itu mengatakan, hampir setahun berlalu, kondisi pariwisata dan perhotelan di Kota Palu  masih memprihatinkan. Tingkat hunian kamar hotel selama bulan April 2019 hanya 48,34 persen, makin turun dibanding kondisi Mei 2019 yang mencapai 34,48 persen atau turun 13,09 persen.

Ketua DPD Perhimpunan Hotel Restaurant Indonesia (PHRI) Sulteng, Fery Taula mengemukakan, pariwisata Kota Palu khususnya bidang hotel dan restoran belum menunjukkan pemulihan yang menggembirakan pascabencana tahun lalu, karena masih adanya kekhawatiran dan trauma dari para wisatawan.

"Diperparah lagi dengan kondisi maskapai penerbangan tanah air yang menjual tiket pesawat sangat tinggi dan bagasi berbayar, hai ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan orang yang menurun ke Kota Palu. Dan dampak tersebut terkait langsung terhadap sektor usaha kecil menengah (UMKM)," sebut Fery Taula.

Baca juga: Palu miliki dua kampung wisata pascabencana gempa

Fery menguraikan, jika dibandingkan dengan tingkat hunian kamar hotel bintang pada bulan Mei 2018 yang sebesar 49,51 persen dengan bulan Mei 2019 yang hanya 34,48 persen, artinya ada penurunan sangat signifikan yaitu sebesar 15,03 persen.

"Sebuah angka yang tidak menggembirakan bagi pebisnis dan pengelola hotel dan tentunya sangat buruk bagi pertumbuhan perekonomian daerah terkait dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan dari sektor pajak untuk pemerintah Kota Palu," katanya.

​​​​​​​Manager Amaxing Beach Hotel Palu Ali Maheki mengakui, dampak bencana dirasakan sangat mempengaruhi pembiayaan, baik secara infrastruktur maupun biaya operasional yang tidak sebanding dengan tingkat hunian kamar hotel yang menurun tajam.

Dengan menurunnya okupansi hotel mereka, membuat manajemen harus memutar otak lebih dalam untuk tetap harus menyiapkan pembiayaan seluruh operasional hotel, dan ditambah lagi dengan biaya perbaikan beberapa fasilitas hotel yang hancur akibat bencana gempa, dengan nilai yang cukup besar.

"Kita mulai khawatir, tingkat hunian hotel hanya 29 persen pada bulan ini, yang hampir tidak mampu menutupi beban biaya operasional hotel-nya," katanya.

Baca juga: Masjid Terapung "saksi bisu" tsunami Palu bakal jadi objek wisata

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019