Jakarta (ANTARA) - Pimpinan KPK jilid IV Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Laode M Syarif dan Saut Situmorang telah membentuk tim transisi sejak 18 September 2019.

Artinya, sehari setelah rapat paripurna DPR pada 17 September 2019 yang mengesahkan revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tim tersebut mulai bekerja untuk menjembatani perubahan metode kerja lembaga antirasuah tersebut.

Sejumlah hal yang disesuaikan, misalnya, terkait dengan status kepegawaian sekitar 1.200 orang pegawai KPK saat ini. Dalam revisi UU tersebut diatur bahwa KPK adalah lembaga dalam rumpun eksekutif sehingga seluruh pegawai KPK adalah ASN.

Pasal 24 berbunyi ayat (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps Profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 69B ayat (1) berbunyi Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak UU berlaku dapat diangkat sebagai Pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal lain yang perlu dirumuskan adalah posisi pimpinan KPK bukan lagi sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum sebagaimana pasal 21 UU KPK 30/2002 karena DPR menghapus pasal tersebut. Pimpinan KPK tidak bisa lagi menandatangani surat perintah penyelidikan, penyidikan atau berkas penuntutan sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan.

Baca juga: Puluhan lembaga mahasiswa uji materi alternatif kuatkan KPK

Persoalan selanjutnya adalah terkait dengan mekanisme kerja Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur dalam 7 Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D.

Namun, kode etik Dewan Pengawas pun belum ditentukan dalam UU tersebut sehingga apakah keputusan Dewan Pengawas bersifat collective collegial atau boleh rangkap jabatan atau aturan-aturan lainnya belum dijabarkan dalam UU tersebut.

Tugas tim transisi di bawah Sekjen KPK Cahya Harefa cukup berat karena revisi UU KPK yang diberi No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK itu pun menyisakan sejumlah pertanyaan.

Lantas apa dan bagaimana tugas tim transisi tersebut? Antara melakukan wawancara khusus dengan Wakil Ketua KPK 2015-2019 sekaligus pimpinan KPK 2019-2024 Alexander Marwata mengenai tanggung jawab tim transisi tersebut pada awal pekan ini.

Apa perubahan terbesar yang terjadi di KPK setelah revisi UU KPK berlaku?
Dari penganggaran KPK kan 100 persen APBN, Pimpinan KPK juga adalah pejabat negara, artinya apa? KPK institusi negara, penegak hukum, hanya negara yang punya kewenangan untuk menuntut dan merampas hak seseorang termasuk KPK, dari hal itu rasa-rasanya seperti jaksa, penyidik mendapat kewenangan dari negara, sebagai aparat negara, dibiayai APBN, dari hal ini menjadi ASN konsekuensi logis dari berbagai ketentuan yang ada.

Memang dalam UU KPK yang lama, unsur KPK itu pimpinan, penasihat dan pegawai sebagai pelaksana. Pegawai dijabarkan dalam PP sebagai pegawai tetap, pegawai tidak tetap dan pegawai yang dipekerjakan, sebelumnya nomenklatur pegawai tetap tidak ada dalam ketatanegaraan, kalau dibiayai APBN maka menjadi aparat sipil negara atau TNI/Kepolisian, secara prinsip aparat negara.

Baca juga: MAKI nilai revisi UU KPK tak sah dan batal demi hukum

Dalam UU baru juga dihilangkan kewenangan pimpinan KPK sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut?
Kan ada pasal yang ke bawah, penyidik dalam melaksanakan tugasnya mengatasnamakan komisi. Komisi siapa? UU KPK baru menyebut KPK terdiri dari dewan penasihat, pimpinan, pegawai artinya penyidik, penuntut umum mengatasnamakan komisi, termasuk di dalamnya Pimpinan KPK.

Ya apakah nanti pimpinan akan tanda tangan surat perintah penyidikan atau surat-surat lainnya kita akan minta kajian ahli hukum tata negara konsekuensinya seperti apa karena belum jelas juga. Tapi dari saya sudah ngobrol-ngobrol dengan Prof Indriyanto Seno Adji dan beliau mengatakan pimpinan masih berwenang karena penyidik dan penuntut umum melaksanakan tugas atas kepentingan komisi.

Yakin pimpinan masih bisa tanda tangan surat perintah penyelidikan dan penyidikan?
Menurut Prof Indriyanto masih bisa, tidak mengurangi hak dan kewenangan pimpinan, nanti kalau pimpinan tidak melakukan apa-apa, yang mengawasi dan manajemen siapa dong? Kan pimpinan sebagai manajer harus tahu apa yang dilakukan di bawah, apalagi syarat pimpinan 15 tahun berpengalaman bidang hukum dan bidang lainnya, dewas (dewan pengawas) malah tidak disyaratkan, hanya minimal usia 55 tahun, "sejauh ini kita belum belum ada gambaran pola kerjanya dewan pengawas".

Saat gelar perkara nanti dewas ikut?
"Karena Dewas memberikan izin penggeledahan dan penyitaan dan penggeledahan, itu satu rangkaian dengan sprindik karena seketika itu juga kita keluarkan surat perintah penggeledahan dan penyitaan karena dewas yang memberikan izin bukan hanya sekadar diberi tahu maka mau tidak mau harus tahu masalahnya apa".

Kalau penyadapan bagaimana mekasinismenya?
"Untuk penyadapan sebetulnya di surat perintah penyelidikan dan selama ini di ekspose itu tidak kita lakukan pada saat menerbitkan sprinlidik (surat perintah penyelidikan) tapi kita punya gambaran dari penyelidik menyampaikan kronologis dan klarifikasi dari pihak-pihak yang melaporkan dan informasinya itu istilahnya A1. Dari situ penyelidik membuat executive summary, berjenjang ke direktur, deputi, baru pimpinan".

Baca juga: KPK: Komitmen partai politik penting cegah kepala daerah korupsi

Nah setelah ada dewas nanti bagaimana?
"Mungkin karena selama ini mereka tidak ngerti mekanisme pengawasan di KPK jadi berpikir penyadapan harus seizin dewas. Nanti kita bahas di dewasnya tidak ada ekspose terbuka tapi kita tahu apa siapa, kenapa disadap. Yang menyusun UU kan tidak tahu proses penyadapan itu, mereka mikir harus diekspose, lah apa yang diekspose? Penyadapan kan hanya persoalan ada info pemberian kepada penyelenggara negara".

Jadi harusnya memang penyadapan perlu izin?
Kalau di lembaga lain izin ke ketua pengadilan tapi kendalanya sekarang lama, jadi peran ketua pengadilan diganti dewas dan menjadi struktur organisasi.

Dewas harus penegak hukum dong kan penyadapan itu pro justicia?
Setidaknya harus paham penyilidikan, penyidikan, penuntutan. Mereka kan menangani penindakan itu dan juga pencegahan. Bagaimana nanti pola kerjanya belum ada dan baru akan dijabarkan di PP, misalnya, apakah izin penyadapan itu collective collegial atau 1 orang dewas atau suara mayoritas cukup, hal itu belum jelas dan ada diatur di revisi UU KPK. "Nanti akan diatur PP, kita masih belum jelas tunggu saja".

Lalu sebelum ada dewas bagaimana cara kerja KPK?
Selama belum ada dewas, bisnis yang berjalan masih terus. Status kepegawaian transisi 2 tahun, tidak ada persoalan. Ya sebetulnya fungsi dan kewenangan KPK kan tidak ada yang hilang! Tugas kewenangan KPK tidak ada yang hilang, malah ada beberapa hal ditambah meski sebelumnya sudah berjalan, misalnya, KPK tidak atur berwenang melakukan eksekusi tapi itu juga sudah dilakukan KPK, makanya di pasal 6 ditambahkan, tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan masih ada di situ, artinya tidak ada yang hilang, hanya dalam beberapa kegiatan melibatkan dewas, itu yang jadi persoalan.

Jadi kewenangan KPK tidak berkurang menurut bapak?
Tidak berkurang, berkurangnya di mana?

Lalu apa lagi masalah terkait dewas?
Kode etik dewas belum ada, mungkin nanti akan kita tentukan, tidak fair ketika kita dibatasi ruang geraknya mereka bisa part time di mana gitu. Nanti di peraturan pemerintah diatur, tapi ini masih baru, asumsi semua, "kita lihatlah, mungkin lebih baik bersabar dulu".

Sudah ada gambaran?
Intinya kewenangan KPK tidak ada yang berkurang, karena seluruh kewenangan masih ada, kekhawatiran masyarakat itu hanya kalau, misalnya, ada permintaan izin dari dewas untuk penyadapan akan terjadi kebocoran, ya ini kan menyangkut masalah integritas, dewas bocorin bisa, saya bocorin bisa, saya tahu siapa yang disadap, siapa pun yang punya akses nomer dan nama yang disadap itu, dia punya potensi untuk bocorin, yang nyadap mesin tapi yang memasukkan nomor kan manusia, artinya sekarang pun potensi (membocorkan) itu ada.

Bagaimana cara menutup kebocoran?
Sejak dari bagian dumas (pengaduan masyarakat) untuk mengklarifikasi ke pelapor, dia punya potensi membocorkanm karena dia yang pertama menerima laporan, lalu diberikan namanya ke penyidik, akhirnya disetujui siapa yang mau disadap, nama dan nomor teleponnya dari satgas penyidikan ke deputi lalu ke 5 pimpinan, jadi nomor yang disadap ini tidak hanya satu orang yang mengetahui, ada banyak, siapa yang membocorkan? Ya mereka yang tahu namanya itu punya potensi membocorkan. Tapi kembali lagi sulit pembuktiannya siapa yang membocorkan, lagi pula memangnya yang punya alat sadap cuma KPK? Di luar juga ada itu.

Baca juga: ICW minta parpol tidak intervensi Presiden keluarkan Perppu KPK

Nanti dewas akan ikut manajemen di dalam KPK?
Enggak, enggak lah, seharusnya namanya dewas tidak ikut dalam keputusan manajerial. Ini kamerin hanya dimasukkan memberikan izin hanya terkait penyedapan, penggeledahan penyitaan. Sebetulnya sebelum RUU ini disahka, saya pikir dewas akan seperti oversight committee. Dalam bisa bekerja ke semua lini tapi berkoordinasi dengan PI, jadi dia bisa minta 'tolong dong itu buka proses penyadapannya' tapi dia tidak masuk untuk izin dan sebagainya, kan repot, misalnya, izin penyadapan tiba-tiba bocor takut juga dia disalahkan kan? Sama kalau geledah kemudian dipraperdilankan oleh tersangka, ternyata KPK kalah, berarti dewas ikut tangung jawab, akhirnya begitu. Lah pimpinan? Kan bukan pimpinan yang memberikan izin, ha ha ha.

Pimpinan lebih ringan dong tugasnya?
"Pimpinan nanti lebih ringan tugasnya, kalau saya tidak masalah, saya tidak dikasih kewenangan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, ya sudah. Kerjaan saya lebih ringan, ha ha ha. Tapi kan kita tidak mau seperti itu, intinya kita ingin benerin negara ini tapi ada beberapa yang kita butuhkan belum terakomodasi di UU KPK".

Lalu bagaimana dengan KPK yang sekarang berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) setelah 2 tahun?
"Bukan dibatasi tapi dapat dihentikan, kalau kita ada alasan seperti alat buktinya banyak atau melibatkan teritori yang lebih luas itu bisa dihentikan, kan tidak harus, tapi dapat dihentikan, jadi itu hak KPK yang menentukan dapat dihentikan atatu tidak".

Jadi bagaimana menentukan proses penyidikan dapat dihentikan atau tidak?
"Sama saja melalui ekspose misalnya kasus sudah 2 tahun tidak berkembang, ekspose dong penyidik, penuntut umum, panggil kembali apa yang harus diperkuat agar kasus bisa dilimpahkan. Kalau mekanisme itu kita bangun tidak ada sesuatu itu kita khawatirkan seolah-olah jual beli perkara. Bayangkan saja penyidik, penuntut, pimpinan, dewas, kalau mau main-main paling tidak melibatkan 15 orang, bisa tidak 15 orang itu diminta menghentikan kasus? Rasa-rasanya sulit, tidak mudah menghentikan perkara ketika penyidik punya alat bukti yang kuat".

Tim transisi selain soal persiapan pegawai menjadi ASN apa lagi?
Yang jelas selain kita fokus peralihan manajemen SDM dan proses bisnisnya, persiapan masuknya dewan pengawas, beberapa kegiatan, misalnya, pelanggaran kode etik kan sekarang bukan kewenangan Pengawas Internal (PI).

Jadi PI KPK kerjanya apa setelah revisi UU KPK berlaku?
"Berkoordinasi dengan dewas. Terkait manajemen SDM, kita berusaha meyakinkan jangan apriori dengan ASN, masalah independensi kecuali pimpinannya intervensi ya kalian boleh khawatir, kan sebetulnya tidak ada hubungannya ASN dengan independensi, independensi kan itu masalah profesionalitas dan integritas".

Tapi usia ASN kan maksimal 35 tahun?
"Kemarin kita sudah koordinasi dengan Kemenpan dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), nanti akan dicari formula yang istilahnya win win solution, karena dari awal diwanti-wanti jangan sampai pegawai dirugikan. Kemarin banyak juga yang dulunya ASN kemudian mengundurkan diri lalu menjadi pegawai tetap KPK, banyak temenku itu, nanti jadi zombie, jadi hidup lagi, ha ha ha. Itu juga saya belum mengerti, masa Nomor Induk Pegawai-nya muncul lagi. Saya saja baru mau mengundurkan diri, saya kan tidak masalah karena saya statusnya bukan ASN, saya baru mengajukan pengunduran diri, pensiun dini, lah teman-teman saya dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan) masuk lagi".

KPK yang memimpin landasan hukum soal kepegawaian ini?
"Bekerja sama, berkoordinasi dengan Kemenpan RB dan BKN, jadi tetap peraturan perundangan ASN harus kita ikuti dan ini saja menimbulkan kecemburuan bagi lembaga lainnya, kok enak banget tuh KPK tiba-tiba langsung jadi ASN semua. Artinya jadi ASN saja banyak yang iri juga, jadi masih dicari formula terbaik masih dicari seperti apa, kan masih ada 2 tahun lagi. Apakah yang 2 tahun lagi akan pensiun masuk ASN? Atau cukup pakai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) kan statusnya kita tidak mengerti".

Jadi tim transisi masalah pegawai dan dewas?
"Yang jelas in charge manajemen SDM, proses bisnis internal kita tapi sudah disiapkan SOP (standard operation procedure) yang pasti akan berubah banyak, tapi belum mendesak, karena dewasnya saja belum ada, selama belum ada dewas ya sudah sekarang yang jalan, jalan terus".

Baca juga: KPK belum pastikan keberlangsungan OTT dengan undang-undang baru

Baca juga: BEM SI desak Presiden Jokowi keluarkan Perppu KPK

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019