Karena orang yang masuk Islam itu ilmunya berbeda-beda
Jakarta (ANTARA) - Cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa pesantren memiliki peran menciptakan budaya keberagaman yang moderat dalam kehidupan masyarakat.

"Di dalam pesantren itu ada tradisi menerima perbedaan pendapat sebagai hal yang biasa. Tradisi ini sudah lama dikembangkan di dalam pesantren sehingga menciptakan budaya keberagaman yang moderat," katanya tentang peran pesantren dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2019 yang jatuh Selasa, 22 Oktober, di Jakarta, Senin.

Pemahaman moderat yang biasa diterapkan di dalam lingkungan pesantren, katanya, karena santri diajari tentang banyak pemahaman sehingga mereka dapat dengan mudah menerima perbedaan sebagai hal yang lumrah.

Pesantren dalam hubungannya dengan masyarakat luas juga berperan mengajarkan nilai-nilai agama yang bermuara pada penanaman akhlak yang berbudi mulia selain juga memberikan pembinaan nilai-nilai sosial.

Bentuk pembinaan yang diberikan oleh pesantren kepada masyarakat contohnya adalah pembinaan moral untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca juga: MUI: UU Pesantren kuatkan pengakuan negara pada pendidikan Ponpes


Kiai sebagai pengajar di dalam pesantren juga mengajari para santrinya tentang perlunya menghormati perbedaan.

"Karena orang yang masuk Islam itu ilmunya berbeda-beda. Jadi kalau berbeda-beda, bagi kiai itu akan dididik bukannya dicaci maki. Mengkafir-kafirkan itu bukan tradisi kiai," katanya.

Selain mengajarkan nilai-nilai moral dan sosial, pelajaran utama yang diajarkan di dalam pesantren adalah tentang tauhid dan akhlak, dengan menekankan pentingnya akhlakul karimah atau akhlak yang baik sebagai hasil dari pendidikan yang diajarkan di dalam pesantren.

"Pesantren mengajari santri untuk berakhlakul karimah. Sedangkan terorisme dan radikalisme itu identik dengan upaya menggunakan kekerasan dan tidak siap menerima perbedaan. Keduanya saling bertolak belakang," katanya.

"Benih-benih terorisme itu kan seperti itu, merasa dirinya paling benar, yang berbeda itu musuh," katanya lebih lanjut.

Ia mengatakan terorisme dan radikalisme muncul dari beberapa faktor, di antaranya adalah lemahnya penegakan hukum, kurangnya pendidikan agama dan juga karena masalah ekonomi.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar ketiga masalah tersebut dapat ditangani secara bersama-sama baik oleh pemerintah, ulama dan juga masyarakat.

"Penegakan hukum dan perbaikan ekonomi kan tugas negara, wawasan keagamaan  oleh tokoh-tokoh intelektual, kiai, bareng-bareng-lah," katanya.


Baca juga: PBNU: UU Pesantren kabar gembira Hari Santri Nasional

Pewarta: Katriana
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019