Tidak setuju karena tidak mencapai sebuah kepastian hukum, jawab Yudi
Jakarta (ANTARA) - Panitia seleksi (Pansel) hakim Mahkamah Konstitusi mencecar Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Yudi Kristiana soal kewenangan Peninjauan Kembali (PK).

"Mahkamah Konstitusi membatasi Peninjauan Kembali tidak boleh dilakukan oleh jaksa penuntut umum, apa tanggapan bapak sebagai jaksa?" tanya anggota Pansel Eddy OS Hiariej di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis.

Tanya jawab itu berlangsung dalam tes wawancara terbuka untuk delapan orang calon hakim konstitusi untuk mencari pengganti hakim konstitusi perwakilan pemerintah I Dewa Gede Palguna yang akan berakhir masa jabatannya pada 7 Januari 2020.

"Ada dua putusan MK mengenai PK, ada dua konsekuensi mendasar terhadap putusan MK tersebut. Pertama, tidak diikutinya putusan MK dimana Mahkamah Agung justru mengeluarkan SEMA No 7 yang mengatur PK hanya bisa diajukan sekali karena bila PK bisa diajukan terpidana dan keluarga berulang-ulang akan menimbulan masalah konsitusional baru berupa ketidakpastian terutama putusan pidana mati. Kedua membawa persoalan konsitusional baru, misalnya dengan kasus 'First Travel' dengan putusan MK maka kesempatan penuntut umum untuk mengajukan PK kehilangan'legal standing, padahal jaksa merepresentasikan kepentingan publik atau victim of crime," jawab Yudi.

Baca juga: Pansel hakim MK dalami aktivitas Umbu Rauta sebagai pengacara

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2016 juga memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan PK.

Dalam putusannya, Mahkamah menegaskan rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP setidaknya memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

"Mungkin pembuat UU tidak sampai pada pemikiran bahwa korban seperti nasabah First Travel, padahal korban begitu banyak seperti, saya sendiri berpandangan penuntut umum punya ruang untuk mengajuan PK," ungkap Yudi yang pernah menjadi jaksa KPK periode 2010-2015 itu.

"Kalau jaksa dikatakan boleh mengajukan PK maka pilihannya hanyalah, pertama bebas, kedua lepas, ketiga tidak menerima tuntutan penuntut umum dan keempat menerapkan hukuman lebih ringan, apakah logis jaksa mengajukan PK untuk meringankan hukuman pidana?" tanya Eddy lagi.

"Kenapa jaksa PK karena jaksa penuntut umum merepresentasikan publik bahkan victim of crime. Kalau hadir putusan yang tidak bisa merepresentasikan keadilan publik apakah jaksa membatasi dirinya terbelunggu dengan pasal KUHAP yang bahkan oleh MK sudah dinyatakan tidak berlaku? Perspektinya pada perlindungan hak konsitusional korban kejahatan," jawab Yudi.

Baca juga: Calon hakim konstitusi setuju MK diawasi pihak eksternal

"PK itu alasan hukum atau politik?" cecar Eddy.

"Kalau PK Mochtar Pakpahan politik tapi pintu masuknya pintu hukum, hanya saja hukum begitu dinamis sehingga kehadiran MK sebagai bagian dinamika cara berhukumketatanegaraan tapi ketika dalam praktik hukum butuh PK, whats wrong?" tanya Yudi.

Pada 1996 diketahui jaksa pada Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan mengajukan PK dalam perkara penghasutan dengan terdakwa Muchtar Pakpahan. Ketika itu, MA mengabulkan PK yang diajukan jaksa. Aktivis buruh yang divonis bebas pada tingkat kasasi itu akhirnya harus mendekam empat tahun di penjara.

Padahal dalam KUHAP Pasal 263 Ayat (1) yang mengatakan bahwa "terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".

Baca juga: Pansel MK gali pemahaman Widodo soal Pancasila sumber hukum

"Kasasi itu sudah jadi bagiannya Jaksa Agung dan PK bagian terpidana sehingga terhadap putusan berkekuatan hukum tetap terpidana atau ahli waris dapat melakukan PK bukankan PK oleh jaksa itu berarti keluar dari rel interpretarsi historis atau orignal intention saat KUHAP dibuat?" tanya Eddy.

"Saya melihat PK itu sesungguhnya bukan hanya bicara due process of law terkait terpidana keluarganya tapi kebutuhan logis hukum. Bagaimana mungkin mengajukan putusan kasasi terhadap kasasi? jadi yang paling memungkinkan PK," jawab Yudi.

"Lebih tidak logis lagi kalau jaksa dalam posisi on behalf of state menuntut terdakwa dengan mencari alasan lain untuk meringankan terdakwa, karena itu formula MA dalam PK, PK tidak boleh lebih berat dari putusan berkekuatan hukum tetap, apakah PK tidak logis karena malah putusannya jadi lebih lemah?" bantah Eddy.

"Perspektif progresif mengatakan hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Konsep KUHAP dan lainnya membatasi tujuan untuk hukum, mestinya peneggak hukum harus berani melakukan terobosan-terobosan sepanjang tidak melanggar asas-asas, tidak melanggar konsitusi dan HAM," jawab Yudi.

Baca juga: Masyarakat dapat ajukan nama seleksi calon hakim konstitusi

"Apakah bapak setuju PK boleh berkali-kali? kan putusan MK begitu?" tanya Eddy.

"Tidak setuju karena tidak mencapai sebuah kepastian hukum," jawab Yudi.

"Apakah bapak setuju dengan putusan MA terhadap putusan bebas boleh dilakukan upaya hukum?" tanya Eddy.

"Dalam tataran filosifu hukum pidana mencari kebenaran materiil antara kepastian dan keadilan, saya berpihak ke keadilan. Kalau saya melihat putusan bebas benar-benar menciderai kedilan berarti kita berusaha menguapayakan PK," jawab Yudi.

Baca juga: Presiden cari hakim konstitusi pengganti Dewa Palguna

"Jawaban bapak kontra dengan jawaban tadi, kan PK dinyatakan boleh berkali-kali adalah keadilan, apakah terdakwa harus menerima kesalahan hakim? Karena putusan bebas itu hak korban, beda lagi kalau ada judicial corruption tapi kalau memang tidak terbukti unsur pasal apakah ini bukan nebis in idem (seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap)?" tanya Eddy.

"Bukan kontradiktif karena MK memandang PK boleh berkali-kali atas dasar tidak boleh kepastian membatasi keadilan. Saya lihat justru ada persoalan keadilan ,tapi juga kepastian jadi kalau dua hal ini berbenturan, tetap keadilan nomor satu, yang kami maknai misalnya suatu perkara bebas, sebenarnya bebas persoalan teknis karena ketidakcukupan alat bukti atau persoalan lain? Secara pribadi saya akan berusaha lagi tapi kalau tidak ada pintu lagi saya pun akhirnya menerima," ungkap Yudi.

Pansel MK sudah melakukan tes wawancara kepada lima orang calon hakim konstitusi pada 11 Desember 2019, yaitu Benediktus Hesto Cipto Handoyo, Bernard L Tanya, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Ida Budiarti dan Suparman Marzuki.

Sedangkan pada 12 Desember 2019 pansel menguji Widodo Ekatjahjana, Umbu Rauta dan Yudi Kristiana.

Pansel akan memberikan tiga nama terakhir kepada Presiden Joko Widodo pada 18 Desember 2019 dan selanjutnya Presiden akan memilih satu nama. Tiga nama tersebut dipertimbangkan dari hasil wawancara, tes kesehatan serta berbagai data dari KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019