Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan perihal kajian penggabungan program jaminan sosial PT ASABRI dan PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan.

"Sudah ada kan Jamsostek, Askes, Taspen, ASABRI. Jadi, Pemerintah juga merasa ini kan tidak bisa tiba-tiba dihapuskan. Dilakukan lah yang namanya di mana supaya mereka bergabung dikasih 2029 sebagai deadline penggabungan," ucap Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), ASABRI dan Taspen harus melebur ke BPJS Ketenagakerjaan dengan target waktu penggabungan paling lambat 2029.

"Yang tenaga kerja jadi masalah karena sudah ada Taspen, sudah ada Jamsostek, sudah ada ASABRI, dan semua ada pasalnya masing-masing Jadi, Taspen buat pegawai negeri, ASABRI buat TNI/Polri, Jamsostek buat non PNS. Dalam perjalanannya ke 2029 ini, KPK melakukan kajian dan rasanya kebijakannya belum berjalan," ucap Pahala.

Selanjutnya, kata dia, pada November 2019, KPK mengirimkan surat ke Presiden Joko Widodo soal proses penggabungan tersebut.

"Pertama, amanat UU 2004 Sistem Jaminan Sosial bilang 2029 yang ketenagakerjaan harus bergabung, jadi satu lembaga atau entah jadi berapa pokoknya harus bergabung di lembaga yang ada sembilan kriteria tetapi kami lihatnya tiga saja. Pertama nirlaba, iurannya wajib, ketiga hasil dari pengembangannya harus kembali lagi ke dia sendiri. Jadi, tidak boleh ada yang ngambil dari bentuk dividen atau apapun namanya," kata Pahala.

Selanjutnya dalam surat itu, kata dia, juga disinggung soal lembaga yang ditunjuk memimpin penggabungan itu.

"Kita melihat di surat kita ke Presiden bilang bahwa kita belum melihat siapa lembaga yang ditunjuk untuk memimpin penggabungan. Yang kedua kami minta ada roadmap yang jelas karena dulu dibuat roadmap tetapi tidak dilakukan, yang buat dulu Kemenko PMK," tuturnya.

Namun, kata dia, pada 2015 terdapat PP yang justru menyebut bahwa ASABRI dan Taspen tetap mengelola jaminan sosial ketenagakerjaan tersebut selain BPJS Ketenagakerjaan.

"Tiba-tiba 2015 keluar PP Nomor 70 yang Taspen bilang bahwa untuk PNS itu pakai Taspen lantas PP yang satu lagi untuk TNI/POLRI, PP-nya keluarnya sama tahun 2015 juga, ASABRI. Nah itu keluar PP-nya tahun 2015, jadi akhirnya tiga sekarang pengelolanya," ungkap Pahala.

Lebih lanjut, Pahala juga mengungkapkan soal pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pegawai non-Aparatur Sipil Negara (ASN) yang jumlahnya mencapai 3 juta orang.

"Lantas yang berikutnya kita lihat dari tiga pengelola ini ada di tenaga honorer yang 3 juta yang riil kasusnya ada sekarang. Nah itu diambil oleh BPJS TK 2 juta sisanya sama Taspen tetapi buat daerah dia ragu bayar (premi) ke mana," ujar Pahala.

Terkait hal tersebut, ia pun mencontohkan kasus pembayaran premi yang terjadi di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

"Kalau di lapangan suratnya meriah ada surat dari BPJS TK bilang anda nanti kalau bayar, kerugian negara lho. Taspen marah apa-apaan kerugian negara, dikeluarin lagi surat sama Taspen salah satunya surat dari MA ke Kabupaten Tebo di Jambi. Jadi, kabupatennya nanya saya nih harusnya bayarnya ke mana, sama MA dijawab ke Taspen. Itu jadi dasar buat Taspen. Jadi, berebut keduanya," kata dia.

Baca juga: Taspen: Sistem jaminan sosial tidak harus digelar satu lembaga

Baca juga: LIPI ungkap masalah jaminan sosial di sektor informal

Baca juga: BP Jamsostek dorong pekerja Informal miliki jaminan sosial

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020