Kita harus fokus pada calon perokok baru
Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto mengatakan integritas kementerian/lembaga dalam pengendalian tembakau perlu dibangun sebagai upaya melindungi anak-anak dari ancaman bahaya rokok.

"Misalnya di kantor saya, tidak akan naik jabatan kalau merokok. Kalau kantor menyediakan tempat untuk merokok, berarti membolehkan orang untuk merokok," kata Agus pada acara penayangan dan diskusi film "Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak" di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu.

Agus mengatakan Presiden Joko Widodo memang tidak pernah secara langsung berbicara atau mengadakan rapat tentang bahaya rokok terkait pelindungan anak. Namun, komitmen pemerintah dalam pelindungan anak disampaikan dalam visi Indonesia Maju.

Terkait penilaian bahwa negara telah gagal melindungi anak-anak dari ancaman bahaya rokok, berdasarkan peningkatan angka prevalensi perokok anak usia 10 tahun hingga 18 tahun menjadi 9,1 persen dalam Riset Kesehatan Dasar 2018, Agus tidak menampik.

"Kita ini harus 'bermain cantik' dalam rapat-rapat koordinasi yang membahas tentang rokok," ujarnya.

Baca juga: Lentera Anak : Jumlah anak perokok di Indonesia terus meningkat
Pegiat pengendalian tembakau Widyastuti Soerojo pada acara penayangan dan diskusi film "Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak" di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (12/2/2020) (ANTARA/Dewanto Samodro)


Sementara itu, pegiat pengendalian tembakau Widyastuti Soerojo mengatakan negara harus hadir melindungi anak-anak dari ancaman bahaya rokok dan memiliki visi yang sama dalam pembangunan sumber daya manusia.

"Kita harus fokus pada calon perokok baru. Yang sudah merokok dan kecanduan biarkan saja lah. Yang harus kita cegah adalah kemunculan perokok-perokok baru, terutama anak-anak," tuturnya.

Widyastuti mengatakan rokok dan industri rokok harus didenormalisasi sebagai upaya melindungi anak-anak dari ancaman bahaya rokok. Pasalnya, masih banyak anak, masyarakat, bahkan aparat pemerintahan yang menganggap rokok sebagai barang yang normal.

"Padahal di dalam Undang-Undang Cukai, rokok dikenai cukai karena termasuk barang yang perlu dikendalikan karena tidak normal. Namun dalam implementasi kebijakan lain, rokok dianggap normal. Ini peluang bagi industri rokok," katanya.

Agus dan Widyastuti menjadi narasumber dalam penayangan dan diskusi film "Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak" yang diadakan Yayasan Lentera Anak.

Selain Agus dan Widyastuti, narasumber lainnya adalah Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hendra Jamal's, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty, akademisi London School of Public Relations (LSPR) Lestari Nurhayati, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Rizkiyana Sukandhi Putra, dan Sekretaris Deputi Pengembangan Kepemudaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Amar Ahmad.

Yayasan Lentera Anak menampilkan sebuah film yang dimulai dari berita seorang anak usia dua tahun dari Musi Banyuasin, Sumatera Selatan yang sudah merokok sejak usia 18 bulan.

Berita yang bermula dari sebuah video yang viral hingga menjadi pemberitaan media di luar negeri pada Mei 2010 itu menceritakan seorang anak yang akan marah dan tantrum bila tidak diberi rokok. Si anak bahkan bisa menghabiskan 40 batang rokok sehari.

Film yang naskahnya ditulis Reza Indragiri Amriel dan dinaratori oleh Rahayu Saraswati Djohohadikusumo itu kemudian menggambarkan bahaya rokok yang masih mengancam anak-anak Indonesia melalui iklan hingga audisi olahraga yang mempromosikan rokok. 


Baca juga: KPPPA: Kawasan tanpa rokok satu syarat Kabupaten/Kota Layak Anak

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020