Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono mengakui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja adalah agar investor yang sudah berusaha di Indonesia tidak pindah ke negara lain sekaligus menarik investor baru untuk masuk.

"Kalau dari para konsultan membandingkan UMR (upah minimum regional) kita dengan negara-negara tetangga, suka tidak suka UMR kita jauh di atas rata-rata negara lain, sekarang investor mau investasi ada yang cost-nya murah, ya, akan lari ke yang lebih murah," kata Dini Purwono dalam diskusi terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Gedung Sekretariat Kabinet, Jakarta, Jumat.

Dini mengakui bahwa UMR di Indonesia yang termasuk tinggi termasuk UMR di Karawang, Jawa Barat yang mencapai Rp4,59 juta.

"Walhasil apa? Kontraproduktif karena pengusaha akan pindah, menambah angka pengangguran karena pindah ke daerah lain jadi yang rugi buruh juga, apalagi apakah angka ini sudah match to market atau angka lobi atau angka hasil kampanye sehingga asal naik saja?" kata Dini.

Namun, Dini menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo meminta agar RUU Cipta Kerja tersebut menggenjot investasi dan menciptakan lapangan kerja lebih luas bagi rakyat Indonesia tanpa menurunkan nilai UMR.

"Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan agar kita tidak terjebak dalam middle income trap, ya, harus ada invetasi. Ini bagaikan pil pahit tetapi bagus untuk perekonomian Prancis, terjadi rasionalisasi, angka UMR yang terlalu tinggi karena banyak janji kampanye akhirnya terbentuk angka yang tidak realistis," ungkap Dini.

Namun, upah tersebut, menurut Dini, sewajarnya disesuaikan dengan kualifikasi keahlian para buruh.

"Upah kecil atau rendah tergantung pada produktivitas. Dengan Kartu Prakerja, pekerja dapat meningkatkan skill dan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Kalau mau upah tinggi tapi skill rendah dan tidak bisa ngapa-ngapain siapa yang bayar? Hanya intinya Bapak Presiden pesan jangan sampai UMR turun, iklim usaha kompetitif tetapi jangan sampai merugikan buruh," jelas Dini.

Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah diterima DPR RI sejak Rabu (12/2). Draf tersebut baru akan dibawa ke rapat pimpinan pekan ini sebelum dibawa ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Baca juga: Ini isi RUU Cipta Kerja

Baca juga: Membedah isi RUU Cipta Kerja


Omnibus Law Cipta Kerja adalah undang-undang gabungan yang diusulkan Presiden Joko Widodo dan diklaim bisa memangkas aturan sehingga bisa menarik investasi.

Sejumlah hal terkait hubungan buruh dan pemberi kerja dalam RUU tersebut misalnya pertama, upah minimum akan menggunakan standar provinsi (UMP) seperti dalam Pasal 88C, padahal sebelumnya bisa diatur dengan standar kabupaten/kota (UMK) Pasal 89 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Besaran UMK biasanya lebih besar ketimbang UMP. Hal ini seperti terlihat di Jawa Barat dan beberapa kabupaten/kotanya, seperti Kabupaten Karawang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi.

UMP di Jawa Barat pada 2020 sebesar Rp1,81 juta, sedangkan UMK di Karawang sebesar Rp4,59 juta, UMK di Kota Bekasi sebesar Rp4,58 juta, dan UMK di Kabupaten Bekasi sebesar Rp4,49 juta.

Kedua, formula yang dipakai untuk perhitungan upah minimum dalam Pasal 88D Ayat (1) di RUU Cipta Kerja hanya berdasarkan kepada pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, formula yang dipakai untuk menghitung upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Ketiga, memberikan bonus atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya. Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih.

Keempat, pemerintah berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ini paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

Kelima, pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tidak lagi disebutkan dalam RUU Cipta Kerja. Aturan sebelumnya, tetap membayar upah pekerja yang sakit sebesar 25—100 persen (tergantung lama sakit) dan yang tidak masuk kerja selama 1—3 hari karena menikah, melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.

Keenam, dalam pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja berhak memperoleh uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Namun, uang penggantian hak dihilangkan, sedangkan dalam UU No. 13/2003, buruh yang terkena PHK wajib mendapatkan ketiganya secara bersamaan.

Baca juga: KLHK optimistis Omnibus Law bisa selesaikan konflik di Tesso Nilo

Baca juga: RUU Cipta Kerja beri jaminan sosial pekerja terdampak PHK


Ketujuh, RUU Cipta Kerja menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 93 Huruf a. Aturan lain yang juga dihapus adalah izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (Huruf b).

Kedelapan, RUU Cipta Kerja menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur tentang pekerja outsourcing. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Selanjutnya, Pasal 65 mengatur soal penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

Kesembilan, RUU Cipta Kerja ketentuan Pasal 59 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang aturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Di dalamnya berisi ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Dengan dihapusnya ketentuan Pasal 59 ini, tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020