Makassar (ANTARA) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan bersama Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendorong berbagai kebijakan untuk perlindungan tenaga kerja (naker) pada sektor jasa konstruksi.

Hal tersebut disampaikan pada sosialisasi komitmen pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan sektor jasa konstruksi dengan penguatan sistem managemen K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) yang dilaksanakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) di Makassar, Selasa.

Komitmen tersebut akan dilakukan melalui penguatan dan penegasan kembali berbagai aturan, mulai dari Peraturan Menteri hingga surat edaran Gubernur Sulawesi Selatan terkait tenaga kerja jasa konstruksi.

Baca juga: Dirut MRT Jakarta: Keselamatan adalah bisnis kami

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Darmawan Bintang menyampaikan akan kembali memperkuat surat edaran Gubernur Sulsel yang dikeluarkan 2018.

Edaran tersebut, kata Darmawan menekankan pada kewajiban pengusaha untuk melindungi tenaga kerja, khususnya pada sektor jasa konstruksi.

Baca juga: Pertamina tingkatkan keselamatan kerja dengan "Fit To Work"

"Intinya sebenarnya ialah perlindungan terhadap pekerja dan pengusahanya sendiri. Mungkin ini perlu diingatkan kembali kepada teman-teman di OPD melalui pengeluaran kembali surat edaran itu," katanya.

Selain mempertajam kebijakan dari surat edaran tersebut, menurut Dermawan perlu menambah statemen Gubernur Sulsel.

Baca juga: Pertamina EP raih penghargaan keselamatan kerja migas

Hal ini karena adanya keluhan oleh BPJAMSOSTEK yang sering mendapati pembayaran iuran tenaga kerja jasa konstruksi dibayarkan di akhir proyek, padahal perlindungan seharusnya dibayarkan dari awal pengerjaan hingga penyelesaian proyek.

"Makanya tadi aturan sebenarnya 14 hari setelah dikeluarkan SPK wajib bagi penyedia jasa untuk memperlihatkan perlindungan tenaga kerja, itu yang harus ditegakkan," tandasnya.

"Pembayaran di akhir oleh pengusaha memang telah menjadi pelanggaran, sebab untuk perlindungan tenaga kerja seharusnya dilakukan sejak persiapan konstruksi hingga penyelesaian," tambahnya.

Sementara mengenai pengawasan, Darmawan menyebutkan hukumannya jelas. Ada beberapa tahapan, pertama melalui surat teguran hingga tidak dilayaninya pada izin pelayanan lewat PTSP (pelayanan terpadu satu pintu).

"Apabila ada perusahaan yang melanggar dan menyalahi aturan ketenagakerjaan, maka terakhir itu bisa melalui pengadilan HAM Ad Hoc kalau ada tuntutan dari pekerja semisal ada terjadi kecelakaan," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama Pejabat Fungsional Pembina Jasa Konstruksi tingkat Madya Kementerian PUPR, Ali Amal menyampaikan pada Kementrian PUPR akan diimplementasikan segera Peraturan Menteri No 21 tahun 2019 terkait sistem managemen keselamatan konstruksi (SMKK).

Ali mengurai pada SMKK tersebut mengatur tiga hal yakni tentang keselamatan konstruksi atau keselamatan keteknikan konstruksi. Kedua terkait keselamatan kesehatan kerja, meliputi keselamatan pekerja dan supplier, sedangkan yang terakhir mengatur keselamatan lingkungan kerja dan lingkungan terdampak atau publik.

"Ke depan diharapkan ada singkronisasi antara ketiga unsur tersebut agar tercipta suatu konstruksi yang berkualitas dan tentunya berkeselamatan, dikerjakan sesuai dengan waktu yang ditentukan berdasarkan kontrak," katanya.

Terkait pembayaran iuran perlindungan tenaga kerja jasa konstruksi yang kerap dibayarkan pengusaha di akhir proyek, Ali mengemukakan hal itu telah menyalahi aturan.

Kata dia, pada Sistem Managemen K3 (SMK3), telah diatur tentang biaya keselamatan kerja yang didalamnya adalah sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Konstruksi.

"Ini sebenarnya sudah diatur dan tersendiri. Sebelum memulai proyek semuanya harus didokumentasikan, bila tidak menyampaikan dokumen SMK3 itu, maka dengan sendirinya harusnya langsung gugur," tandasnya.

Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2020