Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menilai kebijakan imbauan jaga jarak antarmasyarakat (social distancing) perlu dievaluasi sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 semakin luas.

"Pemerintah perlu tanggap untuk segera mengevaluasi metode yang tidak efektif dalam pencegahan penyebaran COVID-19, karena sejak diterbitkannya imbauan 'social distancing' tidak membuat jumlah kasus positif COVID-19 di wilayah DKI Jakarta menurun," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, Teguh Nugroho di Jakarta, Selasa.

Menurut Teguh, dengan melihat kebijakan imbauan "social distancing" yang kurang efektif, perlu dipikirkan untuk beralih ke metode yang lebih ketat dan efektif atau menambahkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan guna efektivitas kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah disetujui Kemenkes.

Kebijakan untuk melaksanakan PSBB oleh Pemprov DKI Jakarta, menurut dia, harus secara signifikan bisa menekan penyebaran pandemi virus corona (COVID-19) yang mewabah di Jakarta. Sekitar 50,9 persen dari seluruh kasus COVID-19 nasional atau berjumlah 1.268 kasus berada di Jakarta.

"Maka kebijakan yang disusun wajib menunjukkan efektivitasnya," kata Teguh.

Baca juga: Lingkungan Masjid Al Istiqomah Tanjung Priok disemprot disinfektan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta  sejak Maret lalu telah mulai meliburkan sekolah, menutup tempat wisata dan menerbitkan seruan gubernur bagi seluruh perusahaan di DKI Jakarta untuk menerapkan kebijakan bekerja dari rumah bagi para karyawannya.

Namun demikian, melihat angka kasus positif COVID-19 yang terus meningkat, Pemprov DKI Jakarta perlu menyusun dan melakukan kebijakan khusus yang lebih ketat lagi. Terlebih, terdapat sekitar 1.094.691 penglaju dari wilayah Bodetabek yang setiap harinya bekerja atau bersekolah di Jakarta dan berpotensi masih beraktivitas hingga saat ini.

"Berdasarkan Pasal 13 Permenkes Nomor 9 Tahun 2020, maka pelaksanaan PSBB dengan item kebijakan yang telah diatur termasuk pembatasan moda transportasi juga, namun apakah hal tersebut akan dirasa cukup efektif?" tutur Teguh.

Sebagai konsep kota metropolitan serta tingginya jumlah oasien positif COVID-19 maka juga diperlukan langkah yang lebih strategis termasuk pembatasan mobilitas antar wilayah.
"Termasuk antisipasi mudik lebaran 2020," katanya.

Adapun terkait disetujuinya usulan status PSBB oleh Kementerian Kesehatan, menurut Teguh dibutuhkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk memperkuat landasan hukum bagi kebijakan lebih ketat yang diambil Pemprov DKI Jakarta

"Landasan itu yang nantinya menjadi tolak ukur apakah harus ditingkatkan atau tidak, karena dalam UU 6/2018 terdapat mekanisme lebih ketat yakni karantina wilayah," kata Teguh

Baca juga: Grab akan patuhi PSBB di DKI Jakarta

Teguh menyebut karantina wilayah bisa jadi pilihan, karena sejak diterbitkannya imbauan "social distancing" tidak membuat jumlah kasus positif COVID-19 di wilayah DKI Jakarta menurun.

Teguh menjelaskan juga bahwa beban penanganan penyebaran COVID-19 di wilayah DKI Jakarta dan daerah-daerah penyangga tidak hanya menjadi beban Pemprov DKI Jakarta atau pemerintah daerah di sekitar ibu kota, tetapi juga terdapat peran Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6 Ayat (3) PP Nomor 21/2020.

"Hal tersebut untuk memastikan kebijakan PSBB yang terintegrasi, efektif serta mendapatkan dukungan yang memadai dari Pemerintah Pusat dan masyarakat umum, termasuk alokasi anggaran serta bantuan teknis lainnya," ujar Teguh.

Berdasar data yang diumumkan Selasa pukul 08.00 WIB, kasus COVID-19 yang terkonfirmasi positif di Jakarta ada 1.395 kasus, dengan 867 orang dirawat, 69 pasien sembuh dan 133 orang meninggal dunia. Sebanyak 326 orang menjalani isolasi mandiri.
Baca juga: Kodim 0504/Jaksel siap kerahkan personel untuk pelaksanaan PSBB
Baca juga: Warga Pasar Walang Baru dapat bantuan masker kain

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020