Jakarta (ANTARA) - Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan 1,6 miliar pekerja di sektor perekonomian informal dunia menghadapi ancaman kehilangan mata pencaharian dan kesejahteraan mereka, akibat semakin menurunnya jam kerja global karena pandemi COVID-19.

Dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, ILO mengatakan bahwa jumlah tersebut hampir setengah dari jumlah angkatan kerja global.

“Sejalan dengan perkembangan pandemi dan krisis ketenagakerjaan, kebutuhan untuk melindungi mereka yang paling rentan menjadi semakin mendesak,” kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder dalam pernyataan tersebut.

Laporan ‘Monitor ILO edisi ketiga: COVID-19 dan dunia kerja’ menyebutkan penurunan jam kerja di kuartal kedua tahun 2020 ini diperkirakan akan lebih buruk dibandingkan dengan estimasi sebelumnya.

Dibandingkan dengan angka sebelum krisis global akibat COVID-19 terjadi, yakni kuartal 4 tahun 2019, saat ini diperkirakan akan terjadi kemerosotan sebesar 10,5 persen, atau setara dengan 305 juta pekerjaan penuh waktu (dengan asumsi 48 jam kerja per pekan).

Estimasi penurunan sebelumnya adalah sebesar 6,7 persen, atau setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu. Perubahan tersebut diakibatkan perpanjangan dan perluasan tindakan karantina, jelas ILO.

Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi global tersebut, hampir sekitar 1,6 miliar pekerja perekonomian informal dari sekitar dua juta miliar di seluruh dunia, dan 3,3 miliar angkatan kerja global, menghadapi dampak besar dalam kapasitas mereka untuk memperoleh pendapatan.

Dampak tersebut dikarenakan kebijakan karantina atau karena mereka bekerja di sektor yang paling terkena imbas pandemi.

Dalam bulan pertama di mana krisis ini terjadi, diperkirakan terjadi penurunan sebesar 60 persen dari penghasilan pekerja informal secara global. Bila dirinci di masing-masing kawasan, kemerosotan 81 persen terjadi di kawasan Afrika dan Amerika, 21,6 persen di kawasan Asia dan Pasifik dan 70 persen di Eropa dan Asia Tengah.

“Tanpa sumber penghasilan alternatif, para pekerja dan keluarganya tidak memiliki sarana apapun untuk bertahan,” demikian laporan ILO.

Selain pekerja sektor informal, jutaan usaha juga menghadapi risiko tinggi akan gangguan yang serius. Usaha-usaha tersebut beroperasi di sektor ekonomi dan yang paling terkena imbas pandemi termasuk 232 juta di sektor usaha eceran (ritel), 111 juta di bidang manufaktur, 51 juta di akomodasi dan jasa makanan, serta 42 juta di usaha properti dan kegiatan usaha lainnya.

ILO pun menyerukan pengambilan tindakan-tindakan yang mendesak, tersasar dan fleksibel guna mendukung pekerja dan dunia usaha, khususnya usaha kecil, mereka yang berada di ekonomi informal, serta pihak lain yang rentan.

Tindakan-tindakan untuk kembali menggerakkan ekonomi harus mengikuti pendekatan yang padat karya, didukung oleh kebijakan dan lembaga ketenagakerjaan yang lebih kuat serta sistem perlindungan sosial dengan sumber daya yang lebih baik dan menyeluruh.

Koordinasi internasional mengenai paket stimulus dan tindakan pembebasan hutang juga akan menjadi penting dalam memastikan proses pemulihan dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.

Standar-standar ketenagakerjaan internasional, yang telah disepakati secara tripartit, juga dikatakan dapat menjadi kerangka kerja.

“Untuk jutaan pekerja, tidak memiliki penghasilan berarti tidak ada makanan, tidak ada keamanan dan tidak ada masa depan. Jutaan usaha di dunia tidak lagi dapat bernafas. Mereka tidak memiliki tabungan atau akses kredit. Ini adalah wajah nyata dunia kerja,” ujar Ryder yang mendesak semua pihak untuk segera mengambil tindakan untuk membantu mereka yang terdampak dan rentan.

Baca juga: ILO sebut pekerja sektor informal perlu bantuan langsung
Baca juga: ILO prediksi 6,7 persen jam kerja global hilang akibat COVID-19
Baca juga: ILO sebut jutaan orang kehilangan pekerjaan karena COVID-19

 

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020