Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan pengembangan vaksin menghadapi tantangan berupa tingkat kompleksitas penyakit.

"Ternyata juga ada jenis penyakit yang sampai hari ini tidak ada vaksinnya, kemudian ada jenis penyakit yang vaksinnya berbeda beda setiap negara atau berbeda-beda setiap masa," kata Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang dalam gelar wicara virtual, Jakarta, Rabu.

Menristek menuturkan yang belum bisa ditemukan atau disepakati oleh para peneliti vaksin di berbagai negara adalah mengenai karakter biologis virus corona penyebab COVID-19.

Baca juga: Untuk riset COVID-19, Kemristek himpun Rp200 miliar

Upaya untuk mengenal karakter biologis virus itu masih terus dilakukan peneliti di dunia terutama melalui identifikasi hasil urutan genom (whole genom sequencing) virus SARS-CoV-2 yang beredar di dunia.

"Apakah vaksin COVID-19 ini akan punya karakter seperti polio misalkan atau lebih seperti demam berdarah atau seperti vaksin flu atau seperti pneumokokus, atau seperti apa," tutur Menristek Bambang.

Menristek Bambang mengatakan jika melihat karakter vaksin yang sudah ada di dunia untuk berbagai jenis penyakit dapat diketahui satu jenis vaksin hanya bisa dipakai untuk satu jenis penyakit, seperti vaksin polio, vaksin difteri dan vaksin hepatitis.

Ada vaksin yang setiap dua tahun harus dimodifikasi atau harus ditinjau karena virusnya mengalami perubahan atau bermutasi yakni vaksin influenza.

Peninjauan berkala terhadap vaksin influenza menjadi satu syarat untuk memastikan efektivitas dari vaksin itu.

"Vaksin flu yang diberikan tahun ini misalkan itu bisa beda dengan 2 tahun kemudian," tuturnya.

Baca juga: Masih tahap awal, pembuatan prototipe vaksin COVID-19

Di tingkat kompleksitas lebih tinggi, ada vaksin yang harus dibuat mencakup empat jenis serotipe berbeda tapi harus dengan antibodi yang sama, yakni vaksin dengue.

Di kasus lain, ada vaksin yang hanya cocok untuk daerah tertentu. Jadi, vaksin yang cocok digunakan di daerah A belum tentu efektif digunakan di daerah B meskipun jenis vaksinnya sama, sebagai contoh vaksin untuk pneumokokus.

"Sebenarnya yang menjadi tantangan bagi para peneliti vaksin di seluruh dunia yang pertama apakah mereka bisa menemukan vaksin, yang kedua kalau bisa menemukan apakah yang ditemukan ini hanya untuk strain virus tertentu atau jenis virus tertentu atau bisa semua jenis virus COVID-19 yang beredar," tuturnya.

Jika nanti ada negara lain yang lebih dulu menemukan vaksin sebelum Indonesia, maka harus diperiksa secara komprehensif untuk mengetahui efektif tidaknya vaksin tersebut untuk Indonesia.

***3**

Baca juga: Menristek: Virus corona di Indonesia ada yang sama dengan di Eropa
Baca juga: Skrining-diagnosis berperan strategis di normal baru, kata Menristek
Baca juga: Kemristek anggarkan Rp5 miliar untuk tahap awal riset vaksin COVID-19

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020