Minimnya penggunaan UU TPPU sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara.
Jakarta (ANTARA) - Evaluasi 6 bulan kerja KPK yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) kesimpulannya bahwa kinerja pencegahan lembaga penegak hukum tersebut terhambat karena buruknya prestasi penindakan.

"Terhambatnya kerja-kerja pro justitia di kedeputian penindakan KPK berdampak pada terhambatnya efektivitas program kerja pencegahan oleh KPK. Kami juga ingin tegaskan bahwa sektor pencegahan mendapat rapor merah," kata peneliti TII Alvin Nicola dalam diskusi virtual di Jakarta, Kamis.

Contoh rapor merah tersebut disumbang dari minimnya tingkat kepatuhan rekomendasi yang sudah dilayangkan KPK kepada lembaga negara. Misalnya, rekomendasi terkait dengan kenaikan iuran BPJS, pendataan jaring pengaman sosial, penanganan pandemi COVID-1, dan pelaksanaan Kartu Prakerja. Hal ini belum semua dijalankan.

Baca juga: Pimpinan KPK disarankan kurangi gimik politik

Setidaknya, kata Alvin, pihaknya mengidentifikasi empat masalah utama dalam konteks pencegahan selama 6 bulan ini.

Pertama, pihaknya melihat koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum (APH) dan pemda itu tidak berjalan optimal. Misalnya, dari pertukaran informasi terkait dengan penyidikan lewat SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) daring untuk perkara korupsi maupun pelimpahannya.

Menurut dia, prtukaran informasi melalui SPDP daring sulit sekali terjadi, bahkan sudah terhenti sejak awal tahun serta tidak dapat diakses publik, padahal hal SPDP daring meruoakan akses utama bagi publik terkait dengan penangan korupsi.

Selanjutnya, dalam konteks koordinasi dan supervisi pencegahan dengan pemda, dia juga menilai belum optimal, padahal ini sudah berjalan selama 2 tahun.

Ia lantas mencontohkan konteks pengadaan barang dan jasa yang capaiannya paling rendah hanya 60 persen, padahal baik dari regulasinya maupun dari program intervensi ke daerah, seharusnya angka ini dapat jauh lebih besar dari pada capaian yang ada saat ini.

Begitu pula, dalam upaya pencegahan kerugian keuangan negara, ICW dan TII menilai tidak ada strategi baru yang mereka tawarkan.

Mereka melihat ada dua hal penting terkait dengan pemulihan aset daerah dan minimnya penggunaan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara.

"Kami apresiasi sudah sebesar Rp63,9 triliun dalam program pencegahan korupsi yang dilakukan pimpinan KPK sebelumnya. Sayangnya, belum ada peta jalan spesifik optimalisasi hal ini," ungkap Alvin.

Baca juga: ICW soroti jumlah tangkap tangan KPK yang merosot tajam

Alvin menilai program pencegahan KPK mengejar kenaikan pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, pemda harusnya memastikan arus setoran pajak itu berjalan lancar dahulu, bisa dalam konteks perbaikan tata kelola dan ketersediaan basis data pajak daerah serta penagihan aktif atas piutang pajak daerah. Setelah itu, baru berbicara kenaikan PAD.

Evaluasi selanjutnya adalah program pencegahan di sektor strategis tampak stagnan karena tidak tampak jelas peta jalan KPK di sektor bisnis, politik, hukum, dan pelayanan publik.

Terkait dengan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) pun punya dua catatan, yakni: pertama, tindakan Stranas PK cenderung teknis dan birokratis sehingga proses keterlibatan publik itu minim.

Kedua, lanjut dia, jangan sampai Stranas PK itu cenderung menghindari persoalan sulit, misalnya korupsi sektor politik.

Dari evaluasi 6 bulan kinerja KPK tersebut, ICW dan TII merekomendasikan pelaksanaan paket pemberantasan korupsi yang lengkap meliputi penindakan pencegahan serta memperkuat pendidikan antikorupsi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020