Padang, (ANTARA) - Ahli kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang Dr dr Andani Eka Putra mengungkap banyak yang gagal paham dalam memahami Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sehingga terjadi sejumlah salah kaprah di masyarakat dalam menyikapinya.

"Terus terang saya katakan hampir semua lini mulai dari masyarakat, aparatur pemerintah hingga tenaga kesehatan gagal paham memahami COVID-19 secara utuh mengakibatkan munculnya masalah baru dalam penanganan," kata dia di Padang, Rabu, pada live zoom yang difasilitasi Media Center Dinas Kominfo Padang.

Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Unand tersebut membeberkan salah satu bentuk salah kaprah dalam penanganan adalah memakai Alat Pelindung Diri (APD) berlapis-lapis sampai membuka pun susah.

"Tidak hanya susah membuka, sampai ada kasus tenaga medis yang sudah bernafas dan pusing karena pakai APD yang terlalu ketat," katanya.

Baca juga: Gubernur Sumbar nilai penanganan COVID-19 sudah di jalur yang benar

Baca juga: COVID-19 Brazil : 1.402.041 kasus dan 59.594 kematian


Ia menilai hal ini terjadi karena adanya kecemasan yang terlalu berlebihan padahal angka kematian akibat COVID-19 terbilang kecil hanya empat persen.

Andani menjelaskan di Amerika Serikat angka kematian per hari mencapai 3.000 per hari dan di Eropa bisa mencapai 2.000 per hari.

Tingginya angka kematian di Amerika dan Eropa karena penyebaran virus sudah masuk pada fase erupsi atau eksponensial ditandai dengan 30 sampai 40 persen populasi terinfeksi di waktu bersamaan.

Sementara di Sumbar penyebaran virus berada pada fase patogenesis yaitu kejadian infeksi di bawah 40 persen, kasus kematian berat sedikit, surveilans dan diagnostik masif, serta pertempuran terjadi di lapangan.

Ia mengingatkan jangan sampai masuk pada fase eksponensial dengan melakukan pencegahan melalui edukasi kepada masyarakat kolaborasi Dinas Kesehatan dengan Laboratorium serta melakukan pool test yaitu tes usap massal.

Kemudian ia menilai untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap COVID-19 amat sulit seperti kebiasaan memakai masker di tempat umum serta melakukan pembatasan fisik.

Ia mengaku pernah berkunjung ke daerah wisata di masa normal baru dengan memakai masker malah pengunjung lain heran melihat.

Pada sisi lain ia juga mengkritik penggunaan cairan disinfektan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya.

Disinfektan disebar di jalanan. Bahkan ada bilik disinfektan yang cairannya ditembakkan ke tubuh manusia, yang bisa berakibat kepada iritasi dan kanker kulit.

"Bilik disinfektan itu tidak efektif karena penggunaannya untuk benda mati, bukan kulit manusia," kata dia.

Untuk memutus mata rantai, ia menilai perlu sosialisasi masif di tengah masyarakat agar patuh pada protokol seperti masker agar bisa bersahabat dengan COVID-19.

Terkait dengan adanya potensi gelombang kedua ia menilai istilah tersebut kurang tepat karena gelombang pertama saja belum selesai dan secara umum grafik di berbagai negara pola kasus lebih kurang sama yaitu mengalami turun naik.*

Baca juga: Anies: Sekolah belum akan memulai kegiatan belajar pada 13 Juli 2020

Baca juga: Ada 53 daerah risiko kenaikan tinggi COVID-19, sebut Gugus Tugas

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020