Titik panas yang terlihat di sejumlah daerah di Indonesia tidak selalu mengidentifikasi adanya potensi karhutla
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengindikasikan titik panas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Lampung pada 13 Juli 2020 terjadi karena kekeringan akibat kemarau dan bukan karena ada potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Jadi titik panas itu belum mengidentifikasi atau teridentifikasi karhutla," kata Kabid Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary T Djatmiko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan titik panas yang terlihat di sejumlah daerah di Indonesia tidak selalu mengidentifikasi adanya potensi karhutla.

Titik-titik panas tersebut, kata dia, mengindikasikan kondisi yang berbeda-beda, tergantung karakteristik masing-masing daerah.

Mengingat bahwa wilayah Lampung dan NTT itu bukan daerah sumber karhutla karena tidak termasuk daerah lahan gambut, kata dia, maka tiga titik panas di NTT dan dua titik panas di Lampung yang terpantau BMKG pada 13 Juli itu disebabkan karena daerah tersebut kering, seiring dengan musim kemarau yang sedang terjadi di daerah tersebut.

"Kalau dia di lahan gambut itu ada indikasi potensi. Kalau bukan lahan gambut berarti bukan, tetapi hanya karena daerah tersebut kering," katanya.

Ia mengatakan wilayah NTT pada bulan ini tengah mengalami kemarau dan dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya daerah tersebut juga biasanya mengalami puncak musim kemarau pada sekitar Juli, Agustus dan September.

Karena itu, katanya, 21 titik panas yang terpantau di NTT pada 10 hari terakhir sampai dengan 13 Juli 2020 disebabkan karena kondisi wilayahnya dilanda kekeringan.

"Jadi kalau kita bicara jumlah titik panas selama 10 hari itu akumulasi. Jadi tiap harinya berbeda. Jumlahnya berbeda-beda," katanya.

Setiap daerah, katanya, memiliki pola dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu, kemunculan titik panas di satu daerah dengan daerah lainnya tidak bisa dinilai dengan indikasi yang sama.

"Wilayah NTT itu lebih ke kekeringan. Tipenya seperti itu. Jadi kalau bicara NTT itu lebih ke kekeringan dan pasokan air. jadi bukan ke karhutla," demikian Hary T Djatmiko.

Baca juga: BMKG: Jumlah titik panas tahun ini melampaui angka tahun sebelumnya

Baca juga: BMKG: Potensi kekeringan di NTT semakin meluas

Baca juga: Harga sayuran hijau di Bandarlampung naik akibat musim kemarau

Pewarta: Katriana
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020