Itu sebenarnya bisa menjadi satu landasan untuk bersama-sama dan mungkin membuat China seharusnya mentaati juga hukum internasional,
Jakarta (ANTARA) - Keinginan China untuk kembali menghidupkan jalur sutera perdagangan, melalui konsep One Belt, One Road  (OBOR) dianggap dapat menjadi landasan untuk kerja sama multilateral dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan, dan bagi negara tersebut untuk mematuhi hukum internasional.

Dalam acara diskusi bertajuk “Laut China Selatan Punya Siapa?” yang digelar secara daring dari Jakarta, Senin, Ketua Departemen Kewilayahan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rahadjeng Pulungsari Hadi, mengatakan bahwa konsep OBOR, atau jalur sutera abad ke-21 yang diinisiasi China itu dapat digunakan sebagai titik berangkat pembicaraan multilateral secara damai antara negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan, dan untuk China agar mematuhi hukum internasional yang berlaku.

“Prinsip-prinsip OBOR sebenarnya sangat bertentangan dengan apa yang terjadi di Laut China Selatan. Dari poin-poin itu sebenarnya sangat bisa dikembalikan ke China, jika ingin OBOR berhasil, bukankah harus ada kebangkitan damai?,” papar Rahadjeng, yang juga merupakan pengajar Program studi China dan Program Asia Tenggara di Universitas Indonesia itu.

Baca juga: RI serukan semua pihak hormati hukum internasional di LCS
Baca juga: Jepang tuduh China dorong klaim teritorial selama pandemi COVID-19


Dia menjelaskan bahwa dari beberapa konsep dasar OBOR masa kini, salah satunya adalah membangun Belt and Road menjadi jalan perdamaian dengan tujuan kemajuan ekonomi bersama dan penguatan kerja sama internasional untuk mengkoneksikan satu peradaban dengan yang lain.

“Jadi secara damai membangun jaringan yang aman, dicita-citakan membangun menjadi jalan kemakmuran, kemudian untuk membuka diri untuk setiap negara agar tidak lagi terisolasi sehingga ekonomi dan perkembangannya bisa stabil,” kata dia.

Dengan pembangunan perdamaian dan harmoni sebagai salah satu prinsip dasar OBOR, maka dia meyakini bahwa persengketaan di Laut China Selatan dapat menjadi sandungan dan membawa kontra-produktivitas terhadap apa yang dicita-citakan oleh China dalam konsep tersebut.

“Itu sebenarnya bisa menjadi satu landasan untuk bersama-sama dan mungkin membuat China seharusnya mentaati juga hukum internasional,” ujarnya.

Lebih lanjut,  Rahadjeng mengatakan bahwa perlu ada penengah dalam sengketa di Laut China Selatan, pasalnya, dia meyakini bahwa selama ini konflik multilateral tersebut kerap membiarkan China berada di sisinya sendiri sementara negara-negara yang lain berada di sisi lain bersama-sama.

Indonesia sendiri telah menyatakan sikap tegas dalam menolak klaim sembilan garis putus (nine-dashed-line) China di Laut China Selatan yang disebut sebagai wilayah tradisional secara historis bagi nelayan-nelayan China untuk melaut dan menangkap ikan. Di dalam cakupan sembilan garis tersebut, terdapat zona ekonomi eksklusif Indonesia yakni perairan Laut Natuna.

“Di sini Indonesia sebenarnya posisinya di tengah karena tidak  menuntut banyak, untuk hal ini harus ada usaha-usaha untuk secara sama-sama berbicara dengan damai,” lanjut dia.

Dia menekankan bahwa Indonesia dapat memiliki daya negosiasi yang kuat dalam sengketa tersebut, terlebih karena turut terlibat dalam perwujudan OBOR.

Acara diskusi “Laut China Selatan Punya Siapa?” yang digelar oleh Fakultas Ilmu Budaya UI turut menghadirkan pembicara lain yakni Agus Aris Munandar serta Djoko Marihandono.

Baca juga: Pengamat: Indonesia pantas jadi pereda ketegangan di LCS
Baca juga: AS, China memanas soal Laut China Selatan, Bagaimana sikap Indonesia?


Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020