Tanjungpinang (ANTARA) - Ledakan kasus COVID-19 di Provinsi Kepulauan Riau, khususnya di Kota Tanjungpinang sebagai bukti kelemahan pemimpin daerah dalam menerapkan protokol kesehatan, kata akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Winata Wira.

"Jika dilihat dari segi penegakan norma dan protokol COVID-19, insiden transmisi atau kluster seremonial ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemimpin formal dan aparatur pemerintah. Padahal mereka merupakan elemen langsung yang menjadi penanggung jawab dalam penanggulangan COVID-19 di daerah," ujarnya, yang dihubungi di Tanjungpinang, Senin.

Kegagalan pemimpin formal ini juga ternyata diperburuk dengan keterlibatan skala besar para pemimpin informal di daerah. Maka itu, kolaborasi pemimpin formal dan informal dalam mencegah meluasnya pandemik ini sangat krusial dan besar kontribusinya sehingga kegagalan kolektif keduanya menjadi pintu malapetaka.

“Tadinya kita pasti berharap Pak Gubernur untuk meniadakan ekspresi suka-cita seperti serial seremonial yang kita lihat beberapa hari lalu. Karena, banyak aktivitas penting yang dialihkan secara daring, apa sulitnya tinggal mengalihkan ekspresi suka cita tersebut dalam saluran-saluran daring juga. Sepenting apa sih urusan seremonial itu di tengah pandemik seperti ini?” ucapnya.

Baca juga: Gubernur Kepri Isdianto minta maaf terkait penularan COVID-19

Baca juga: GTC-19 Kepri: Ajudan Gubernur tertular COVID-19 di Jakarta


Seharusnya, kata dia, tingkat pengetahuan dan kesadaran elit dan pucuk pimpinan pemerintahan di daerah terhadap protokol penanggulangan pandemik COVID-19 ini, diibaratkan sudah di luar kepala sehingga sangat tidak masuk akal jika mereka terang-terangan mengabaikan perkara yang pokok itu.

Ada tiga UU yang mendorong pemerintah menjadikan pandemik ini darurat nasional, yaitu UU Penyakit Menular, UU Penanggulangan Bencana dan UU Kekarantinaan Kesehatan.

"Jelas sekali di situ ada tanggung jawab dan kewajiban pemerintah daerah termasuk konsekuensinya jika lalai. Bagi saya karena ini menyangkut institusi publik, kelalaian tersebut tidak dapat dianggap remeh," ujarnya.

Hal yang lebih miris, menurut dia dengan skala kehebohan dan kekhawatiran yang ditimbulkan sampai saat ini tidak tampak sikap positif yang bisa diambil sebagai pelajaran.

“Ok, jika tidak ada permintaan maaf, minimal sampaikanlah kepada masyarakat bahwa dalam situasi pandemik yang tidak pasti ini jalan terbaik adalah tetap ikuti protokol. Nol atau minim kasus bukanlah indikasi yang konstan bahwa kita sedang dalam situasi yang aman, contoh terdekat adalah Vietnam," ucapnya.

Ledakan kasus positif di Kepri setelah momentum pelantikan Gubernur Kepri Isdianto seharusnya tidak terjadi. Oleh karena itu, wajar dan dapat dipahami mengapa tidak sedikit masyarakat yang menumpahkan rasa kecewa dan marah atas perkembangan terbaru yang cukup mengkhawatirkan.

Apabila jumlah positif semakin bertambah, hal ini akan terus memberi tekanan terhadap kapasitas medis yang dimiliki oleh rumah sakit di Kepri. Sampai berita ini diturunkan, hampir mencapai seribuan uji usap (swab) telah dilakukan terhadap pejabat dan warga yang diduga terlibat dalam serangkaian acara yang melibatkan kontak langsung dengan Gubernur.

Bahkan potensi kerawanan sosial juga tidak dapat dikesampingkan, mengingat dengan bertambahnya kasus akan berdampak pada berhentinya mobilitas sosial ekonomi masyarakat secara signifikan.

Iklim relasi sosial juga bisa mudah terganggu dan tersulut, karena bukan fakta yang bisa dipungkiri saat ini di tengah-tengah masyarakat telah terjadi polarisasi antara antara dua kelompok masyarakat yang pro dan kontra.

Walaupun sosialisasi di berbagai saluran tetap dilakukan, namun disinformasi juga masih banyak bertebaran sehingga berdampak pada berkembangnya spekulasi.

Pada tingkat yang paling mengkhawatirkan adalah ketika perilaku elit pemimpin tidak merepresentasikan standar dan aturan main yang benar dalam konteks penanggulangan Covid.

Hal ini akan memperburuk persepsi di masyarakat yang sudah terpolarisasi. Kalau sebelumnya polarisasi masih relatif di tataran silang pendapat tapi pada kasus jika pemimpin gagal mencitrakan diri sebagai bagian dari solusi penanggulangan, maka bukan tidak mungkin polarisasi jadi meluas menjadi penolakan terhadap protokol karena sudah bentuk kelaziman jika perilaku dan perbuatan pemimpin dapat dicontoh oleh masyarakatnya.

“Lha, karena pemimpinnya dianggap abai, jadi masyarakat merasa tidak masalah jika ikut juga bersikap abai dan tidak peduli lagi. Walaupun saya optimis masih lebih banyak masyarakat yang akan bersikap cerdas dan bertanggung jawab dalam situasi pandemi ini”, ujar Winata Wira, warga Tanjungpinang yang juga staf pengajar di FE UMRAH ini.*

Baca juga: Tes usap, adik dan ponakan Gubernur Kepri Isdianto positif COVID-19

Baca juga: Ruang rawat pasien COVID-19 di RSUP Kepri penuh

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020