Faktor disrupsi yang sekarang ini terjadi secara bersamaan sehingga krisisnya bersifat sistemik, multidimensi, berlarut, dan lama waktunya.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Muhammad Anis Matta ada empat faktor yang membuat situasi global ke depan lebih dibandingkan saat ini, salah satunya sistem global dampak pandemi COVID-19 yang melanda dunia.

"Karena pada dasarnya virus itu berhubungan dengan kehidupan kota, tempat manusia terkonsentrasi dalam jumlah besar. Makanannya berupa hewan ini didekatkan kepada dia, potensi itu (virus) pasti terjadi," kata Anis dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.

Faktor kedua, menurut dia, adalah perubahan iklim. Ramalan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan kemungkinan akan terjadi krisis pangan dalam 2 tahun ke depan.

Baca juga: Fahri: Keberagaman jadi format Indonesia mempersatukan dunia

Ia menyebutkan sebagian besar dari musibah-musibah faktornya adalah perubahan iklim, terlepas perdebatan perubahan iklim teori konspirasi atau tidak.

"Faktanya, jumlah bencana alam lebih banyak, banjir lebih sering, tsunami lebih sering, kekeringan, kebakaran hutan, dan seterusnya. Misalnya, terjadi kebakaran luar biasa di Australia beberapa waktu lalu, itu artinya jumlah ini lebih banyak dan mendisrupsi secara ekonomi, sosial, dan secara politik," ujarnya.

Dengan istilah perang supremacy jadi satu bangsa muncul menyebabkan kematian yang lain, incumbent ini harus bertahan, caranya harus menghabisi penantang.

"Sekarang mana yang kalah apakah incumbent atau penantang, kita tidak tahu. Akan tetapi, sampai kapan berakhirnya kita tidak tahu. Namun, mereka berperang menggunakan semua sarana, perang dagang, teknologi, hingga budaya," katanya.

Keempat, menurut Anis, adalah faktor teknologi, saat ini semua orang dipaksa berhijrah ke sistem digital. Namun, ternyata banyak instansi pemerintahan yang tidak siap dengan digitalisasi karena tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai.

Baca juga: Petinggi Partai Gelora temui Presiden Jokowi

Anis menilai keempat faktor ini adalah faktor disrupsi yang sekarang ini terjadi secara bersamaan sehingga krisisnya bersifat sistemik, multidimensi, berlarut, dan lama waktunya.

Dalam satu analisis sistem global, lanjut dia, setiap 80 hingga 100 tahun ada perubahan dalam sistem global, sementara saat ini sistem tersebut usianya sudah mencapai 75 tahun.

"Misalnya, abad ke-16 itu abadnya Portugis, abad ke-17 yang dominan Belanda, abad ke-18 dan ke-19 itu yang dominan Inggris, abad ke-20 itu Amerika. Sekarang dominasi ini akan bertahan atau tidak, kita tidak tahu, pandemi akan mempercepat perubahan tersebut," ujarnya.

Selain itu, Anis juga mengingatkan bahwa kemungkinan krisis berlarut akibat penyebaran penyakit yang menimpa dunia dan Indonesia saat ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

Baca juga: Fahri Hamzah: Tiga tantangan dihadapi bangsa Indonesia

Usai pandemi COVID-19 berakhir, dia perkirakan akan ada virus lain yang lebih ganas menyebar pada tahun 2023 dan 2026. Akibatnya, pandemi virus tersebut akan makin memengaruhi kekacauan global.

"Ada satu dokumen yang saya baca menyebutkan bahwa kemungkinan 2023 dan 2026 ada lagi virus lain," katanya lagi.

Oleh karena itu, Anis Matta menilai tidak ada definisi akhir dari krisis yang diakibatkan oleh penyebaran virus.

Hal itu, menurut dia, definisi virus sama dengan isu teroris yang hingga saat ini masih ada dan tidak ada akhirnya.

"Jadi, ini satu jenis krisis yang tidak ada definisi akhirnya. Maksudnya tidak ada satu situasi nanti berakhirnya begini. Sejak 2001, misalnya, mendengar isu teroris, selesai tidak isu itu? Tidak," ujarnya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020