Tokyo (ANTARA) - Terapi penggunaan plasma darah COVID-19 yang dikembangkan oleh perusahaan Jepang Takeda Pharmaceutical bersama rekanannya dijadwalkan untuk uji coba klinis tahap akhir pada September ini, setelah sempat ditunda.

Pengkajian tersebut membutuhkan 500 relawan dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Argentina, dan Denmark, menurut situs internet yang dijalankan oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH), Pemerintah AS.

Pengembangannya sendiri disponsori oleh Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional (NIAID) AS--yang merupakan bagian dari NIH.

Baca juga: FDA siap mengizinkan plasma darah untuk pengobatan COVID-19
Baca juga: GC Pharma tunggu izin Korsel sebelum gelar uji klinis obat COVID-19


Kajian uji coba ini bertujuan untuk membandingkan hasil penggunaan produk plasma darah dengan obat Remdesivir dan sebuah plasebo (obat kosong).

CoVIg-19 Plasma Alliance, kelompok pengkajian yang dipimpin oleh Takeda, awalnya hendak memulai uji coba pada Juli lalu--yang kemudian ditunda.

Perwakilan dari Takeda mengatakan bahwa pertanyaan lebih lanjut terkait kajian tersebut harus dilayangkan kepada NIAID, namun institut itu pun belum mengeluarkan komentar resmi terkait hal ini.

CoVIg-19 Plasma Alliance, yang di dalamnya termasuk Biotest AG, CSL Behring, dan Octapharma Plasma, bekerja mengkaji terapi globulin hiperimun yang berasal dari plasma konvalesen.

Terapi itu menawarkan dosis antibodi yang standar dan tidak perlu dibatasi terhadap pasien dengan golongan darah yang sama. Produk klinisnya diproduksi di fasilitas Takeda di Negara Bagian Georgia, AS, dan di fasilitas CSL Behring di Swiss.

Sumber: Reuters

Baca juga: Kemenkes uji klinis fase 2 dan 3 plasma konvalesen COVID-19
Baca juga: AS izinkan plasma darah untuk mengobati COVID-19

Penerjemah: Suwanti
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020