Jakarta (ANTARA) - Hasil survei perokok anak yang dilakukan sejumlah pegiat perlindungan anak bersama Yayasan Arek Lintang (ALIT) Indonesia menunjukkan terjangkaunya harga rokok menjadi pemicu terjadinya peningkatan jumlah perokok anak di Indonesia.

"Kami melihat dari beberapa wilayah dampingan ALIT, banyak sekali anak-anak yang sudah merokok di saat tubuhnya belum mampu menerima paparan zat atau kandungan berbahaya dari rokok,” ujar Lisa Febriyanti, Tim Baseline Survey Yayasan ALIT Indonesia, dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Dari total 506 responden yang diwawancarai di lima wilayah cluster yang disurvei di Jawa Timur, sebanyak 87 persen perokok anak memiliki anggota keluarga dewasa yang juga merokok. Selain itu, sebanyak 85 persen anak tersebut pernah diminta atau disuruh orang dewasa untuk membeli rokok.

"Yang memprihatinkan adalah 87 persen dari anak mengaku sebagai perokok aktif atau merokok sudah menjadi keseharian mereka, dan sebagian besar dari mereka sudah mulai merokok di usia 13-14 tahun,” ujar Lisa.

Tim Survei juga menemukan bahwa ada anak berusia lebih muda yang sudah mulai merokok yakni di usia lima tahun.
Baca juga: Yayasan Alit temukan 500 anak menjadi perokok aktif selama pandemi

Ada 79 persen perokok anak membeli sendiri rokoknya, dan 72 persen penjual rokok membiarkan anak-anak membeli rokok.

Dalam survei juga ditemukan bahwa rata-rata perokok anak mengggunakan sebagian uang sakunya untuk membeli rokok.

"Harga rokok yang dibeli anak bervariasi, dari pernyataan responden dan dibandingkan dengan harga pada pita cukai, terdapat beberapa merek yang didapatkan anak-anak secara lebih murah. Temuan kami, ada anak-anak yang mendapatkan rokok lebih murah dibandingkan harga yang dibanderol," ujar Lisa.

Dalam hal ini, Yayasan ALIT Indonesia menyoroti peraturan pemerintah mengenai cukai rokok dan kaitannya dengan jangkauan anak-anak.

"Saat ini ada kenaikan cukai, tapi kemudian kami juga melihat ada aturan yang absurd yakni Perdirjen Bea Cukai 37/2017 yang membolehkan menjual rokok di bawah 85 persen dari banderol asal tidak lebih di 40 kota pengawasan bea cukai," katanya.

Hal tersebut dinilai menjadi sorotan karena dengan aturan yang masih ada, masih akan mungkin ditemukan harga rokok di bawah 85 persen dari batasan yang seharusnya sehingga harganya menjadi lebih murah dari yang tertera pada pita cukainya. Hal inilah yang membuat anak-anak makin mudah untuk menjangkau rokok.
Baca juga: Kak Seto: Industri rokok berstrategi giring anak jadi perokok baru

Direktur Eksekutif Yayasan ALIT Indonesia Yuliati Umrah mengatakan pihaknya secara tegas berharap agar pemerintah mencabut segala aturan yang masih memungkinkan rokok dijual lebih murah lagi.

"Saya setuju kalau ketentuan tersebut dihapus saja. Harga rokok sudah terlalu murah kalau diperbolehkan dijual di bawah 85 persen. Anak pasti bisa beli dengan uang sakunya," ujar Yuliati.

Dia mengatakan bahwa Yayasan ALIT Indonesia mengusulkan kepada pemerintah untuk mencabut ketentuan tersebut demi melindungi anak-anak dari ancaman rokok.

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Politik Masalah Pemerintahan dari Universitas Airlangga (Unair) Kris Nugroho menduga bahwa masih terdapat celah dari penegakan regulasi.

"Perusahaan rokok bisa bermain untuk memanfaatkan kelemahan suatu produk hukum. Yang bisa kita cermati di sini adalah aturan itu sudah termasuk keputusan ekonomi politik yang merupakan titik temu berbagai kepentingan bisnis rokok dengan kementerian," ujar kris.
Baca juga: YLKI: Kenaikan jumlah perokok pemula didorong masifnya iklan rokok
Baca juga: Lentera Anak: PP 109/2012 gagal lindungi anak dari rokok

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020