Setelah pengukuran tim rescue mengevakuasi buayan itu untuk dilepaskan di penangkaran
Kendari (ANTARA) - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara mengevakuasi buaya muara (crocodylus porosus) berukuran panjang 3,85 meter dan lebar 60 cm yang ditemukan warga Desa Lambangi Kecamatan Kolono Timur Kabupaten Konawe Selatan ke penangkaran.

Kepala BKSDA Sultra Sakrianto Djawie di Kendari, Senin, mengatakan jenis buaya terbesar di dunia itu pertama kali ditemukan oleh warga Desa Lambangi terjaring di sero (alat tangkap ikan ramah lingkungan) milik warga di desa itu.

"Kemudian warga melaporkan ke Kepala Desa Lambangi, kepala desa segera memerintahkan warganya untuk segera menangkap buaya tersebut," katanya.

Baca juga: Buaya liar di Sungai Deli ditangkap BKSDA Sumatera Utara

"Buaya tersebut ditangkap oleh warga dengan menggunakan tali tambang, buaya tersebut kemudian dibawa ke balai desa dan Kepala Desa Lambangi menghubungi Kepala Resort Konawe Selatan 2 guna menindaklanjuti temuan satwa tersebut," lanjut Sakrianto.

Ia mengungkapkan setelah mendapat informasi tersebut, pihaknya langsung menuju ke desa itu guna mengevakuasi satwa liar tersebut. Dari keterangan masyarakat setempat, buaya tersebut telah meresahkan warga sekitar tiga bulan terakhir khususnya di wilayah perairan Teluk Kolono.

"Tim telah melakukan pengukuran panjang dan lebar satwa liar buaya di ketahui panjang 3,85 meter dan lebar 60 cm. Setelah melakukan pengukuran tim rescue mengevakuasi satwa liar buaya untuk dilepaskan di penangkaran di Kabupaten Kolaka," jelas Sakrianto.

Baca juga: Warga Banyuasin dapat buaya saat mancing di kolam ikan
 
Pihak BKSDA Sultra saat mengevakuasi buaya muara (crocodylus porosus) berukuran panjang 3,85 meter dan lebar 60 cm yang ditangkap warga saat masuk di sero (alat tangkap ikan ramah lingkungan) milik warga Desa Lambangi Kecamatan Kolono Timur Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara, Senin (5/10/2020). (ANTARA/HO-BKSDA Sultra)



Menurutnya, penyebab terjadinya serangan buaya kepada manusia karena beberapa faktor, di antaranya adanya konflik ruang antara manusia dan satwa, atau beberapa spot/titik ruang yang menjadi habitat buaya telah menjadi ruang pemanfaatan aktivitas manusia.

"Ada kemungkinan juga pakan (makanan) dari satwa tersebut berkurang akibat aktivitas pemanfaatan oleh manusia. Tapi kondisi ini masih membutuhkan kajian dan penelitian lebih dalam," katanya

Baca juga: Dirjen KSDAE pimpin pelepasliaran enam ekor buaya muara di TNWK

Dijelaskannya, buaya muara termasuk satwa liar yang dilindungi Undang-Undang, sebagaimana tertuang dalam Lampiran PP Nomor 7 Tahun 1999, dan ada kententuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 bahwa: Barangsiapa dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Pasal 21 ayat (2) huruf a, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.

Pasal 40 ayat (2): Barang siapa dengan sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2) huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.

Pasal 40 ayat (2); Dengan sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.

Baca juga: Buaya muara yang berkeliaran di Medan berhasil ditangkap petugas

 

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020