Manusia menjadi semakin mudah menangkap dan menjualbelikan satwa liar
Jakarta (ANTARA) - Ilmuwan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Jatna Supriatna mengatakan pandemi terutama yang disebabkan oleh zoonosis berkaitan erat dengan kerusakan hutan.

Selain SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19, Prof Jatna dalam diskusi publik "Pandemi itu Nyata, Begitu Pula Krisis Iklim" yang diadakan AIPI bersama The Conversation Indonesia diakses di Jakarta, Senin, juga menyebut beberapa zoonosis atau penyakit pada binatang yang dapat ditularkan ke manusia lainnya seperti Zika yang terjadi di Brasil, Ebola dan HIV yang merebak di Afrika, SARS yang merebak di China.

Ahli zoologi dan biologi konservasi Indonesia itu mengatakan deforestasi itu nyata dan tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di Indonesia.

Baca juga: Kerusakan hutan di TNGHS akibat Pemkab Lebak tak miliki kewenangan

Contohnya di Kalimantan hanya di bagian tengah saja yang kondisi hutannya masih baik, di Papua setidaknya 75 persen hutannya masih baik.

Jatna mengatakan kerusakan hutan dan deforestasi menyebabkan manusia dan satwa liar menjadi dekat. Saat hidup manusia hanya bergantung pada berburu dan bertani kondisi hutan masih cukup baik, namun ketika pertambangan, logging, deforestasi, pertambahan populasi, urbanisasi, pembangunan jalan, produksi pangan, perubahan iklim terjadi, manusia menjadi semakin berdekatan dengan satwa liar.

"Manusia menjadi semakin mudah menangkap dan menjualbelikan satwa liar," kata dosen MIPA Universitas Indonesia itu.

Baca juga: Walhi Sumsel ajak masyarakat cegah kerusakan hutan

Ada sekitar 7,5 miliar penduduk dunia yang hidup terkonsterasi di negara-negara pemilik hutan seperti Brasil, Indonesia, China. Urbanisasi terjadi besar-besaran dan menyebabkan hutan semakin berkurang, hal tersebut menjadi salah satu penyebab manusia hidup semakin berdekatan dengan satwa liar.

"Karnivora semakin berkurang, bahkan hilang. Sehingga satwa liar lainnya seperti kelelawar, babi, tikus dan seterusnya cepat berbiak, dan itu justru yang bawa virus," kata Jatna.

Baca juga: Menteri LHK: Perambahan hutan ilegal dan tambang liar sebabkan banjir

Manfaat keanekaragaman hayati

Jatna menegaskan jika kondisi keanekaragaman hayati yang baik akan mengurangi risiko penyakit menular pada ekologi komunitas.

Keanekaragaman hayati dapat memberikan dillution effect, menjadi penghalang transmisi penyakit dengan cara pengurangan densitas populasi dari reservoir alami untuk patogen, pengurangan densitas populasi Arthropoda sebagai vektor patogen, pengurangan pertemuan antara vektor dan reservoir atau di antara reservoir.

"Di Indonesia sudah warning seharusnya, karena perdagangan satwa liar belum disetop, wet market masih ada. Itu berbahaya sekali. Di China sudah pada ditutup," ujar dia.

Baca juga: Terkait zoonosis, Kemenkes ingatkan pentingnya pengolahan makanan

Akhirnya, virus dari satwa liar yang mengalami domestikasi masuk ke manusia. "Maka Kita cukup cintai satwa liar tapi tidak usah pelihara. Karenanya sering terjadi loncatan (virus) ke manusia," kataJatna.

Riset dilakukan di sejumlah pasar hewan seperti di Medan, Pasar Burung Pramuka di Jakarta, Pasar 45 di Manado dan beberapa tempat lainnya. Rata-rata memang satwa liar dikonsumsi sendiri atau dikirim ke China, dan itu berbahaya karena bisa terjadi zoonosis.

Baca juga: USAID: 70 persen penyakit menular baru dari satwa liar

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020