Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4 persen efektif untuk diterapkan di Pemilu 2024.

"Ada tiga alasan. Pertama, parliamentary threshold 4 persen baru satu kali diterapkan di pemilu, nanti bisa dievaluasi secara bertahap atas kebijakan tersebut," kata Viva Yoga saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Kedua menurut dia, sirkulasi dan regenerasi berdemokrasi harus dibuka untuk menghasilkan sistem pemilu yang kuat dan berkualitas. Ketiga, aspek proposionalitas sebagai syarat pemilu yang baik dan demokratis harus dijaga, tidak hanya sekedar pertimbangan karena kepentingan politik yang menutup udara bagi tumbuhnya partai politik baru.

Parliamentary threshold  adalah perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di parlemen.

Baca juga: Komisi II: Ada kecenderungan fraksi turunkan ambang batas presiden

Dia menegaskan, berapapun ambang batas parlemen (PT) yang ditetapkan, PAN tidak khawatir, tidak merasa takut, dan  PAN siap menghadapi Pemilu 2024.

"PAN hanya ingin mengajak kepada seluruh komponen bangsa untuk berpolitik secara akal sehat. Berpolitik yang memakai rasionalitas dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi melalui keputusan politik," ujarnya.

Selain itu dia menilai, pengurangan atau membatasi jumlah partai politik melalui penerapan PT harus berdasarkan kaidah ilmiah yang diterima secara obyektif dan dapat diuji secara akademis.

Hal itu menurut dia tidak hanya dalam perspektif pendekatan politik tetapi melalui jalan politik akal sehat, politik yang rasional.

"Sejarah penerapan PT di Jerman, menurut Reynold (2005), The International IDEA, adalah untuk menghambat kaum ekstrimis terpilih dan menghilangkan partai kecil mendapatkan kursi di parlemen," katanya.

Viva Yoga menilai, di tiap-tiap negara berbeda dalam penerapan PT, misalnya Argentina, Brasil, Ukraina menerapkan PT 3 persen, Bulgaria dan Italia 4 persen, dan Kroasia serta Polandia 5 persen.

"Jadi, penerapan PT di Undang-undang pemilu adalah keputusan politik. Berapapun PT diberlakukan, meski dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), dipastikan akan ditolak MK dengan alasan persoalan PT adalah open legal policy dari pembuat Undang-undang. MK sudah melakukan hal itu," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2020