Jakarta (ANTARA) - Walau sama-sama menyerang saluran pernapasan, namun ada gejala yang membedakan antara penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan COVID-19.

"Tidak ada demam (pada PPOK), yang paling bahaya karena faktor usianya sama. Kalau COVID-19 semakin tua (usia penderita) maka angka mortalitasnya juga semakin tinggi, sedangkan PPOK biasanya pada usia di atas 50 tahun. Kalau dia kena COVID-19, angka kemungkinan dia meninggal juga tinggi," ujar dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta, Budhi Antariksa dalam webinar Kalbe, Rabu.

Baca juga: Melaney Ricardo ungkap pernah positif corona

Selain itu, PPOK tak seperti COVID-19 yang ditandai batuk tetapi kebanyakan tidak berdahak, nyeri otot, gangguan penciuman, pada beberapa kasus pasien juga mengalami diare, nyeri perut dan infeksi saluran kemih.

Menurut Budhi, gejala PPOK hanya terbatas pada daerah pernapasan dan jika sesak napas lalu tidak terjadi perubahan hebat kemungkinan tidak disertai COVID-19.

Untuk memastikan diagnosis, dokter biasanya menyarankan rontgen, pemeriksaan laboratorium, menggunakan alat spirometri untuk memeriksa dahak, kuman atau jamur hingga analisa gas darah kalau terjadi sesak hebat.

Pada mereka yang terkena PPOK, gambaran pada hasil rontgen menunjukkan warna lebih hitam karena banyak udara terperangkap dalam paru (akibat merokok), diafragma mendatar dan bentuk jantung seakan memanjang dan menjadi langsing karena parunya mengembang namun banyak udara yang terperangkap.

"Karena ini zamannya COVID-19, kita harus hati-hati, biasanya kita lakukan tes PCR, pemeriksaan laboratorium dan rontgen kembali. Anjurannya orang dengan PPOK di masa pandemi COVID-19, tetap di rumah, lakukan 3M karena riskan terkena COVID-19," kata dia.


Baca juga: Kena PPOK tetap harus berolahraga, apa pilihannya?

Baca juga: Dalam 20 tahun, rata-rata perokok akan menderita PPOK, sebut ahli

Baca juga: 2,2 Juta Orang Meninggal Akibat PPOK

 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020