tambang emas ilegal sudah masuk ke dalam kawasan hutan
Padang (ANTARA) - Tutupan hutan alam Sumatera Barat berkurang 31 ribu hektare sejak 2017 berdasarkan analisis Citra Satelit Lansat TM 8 yang dilakukan oleh tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi pada 2020.

"Tutupan hutan Sumbar tinggal 1,8 juta hektare atau 44 persen dari luas wilayah. Pengurangan tutupan hutan paling banyak terjadi di Kabupaten Mentawai sebanyak tujuh ribu hektare, disusul Dharmasraya lima ribu hektare dan Solok Selatan empat ribu hektare," kata Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf di Padang, Selasa.

Ia mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan tutupan hutam alam itu berkurang diantaranya adanya izin baru untuk perusahaan logging, upaya pembukaan lahan baru untuk perladangan, tambang emas ilegal, kebakaran hutan dan lainnya.

“Analisis kami tambang emas ilegal sudah masuk ke dalam kawasan hutan. Terdapat empat ribu hektare kawasan sempadan sungai yang sebagiannya berada dalam kawasan hutan dirusak oleh penambangan emas ilegal ini,”katanya.

Baca juga: Tata kelola pemerintahan lemah dorong laju deforestasi

Kehilangan tutupan hutan itu telah menyebabkan beragam bencana dan konflik yang tak kunjung usai. Dalam catatan Warsi tahun ini tercatat enam kali galodo yang menyebabkan empat orang tewas, tiga orang luka dan 18 rumah rusak.

Selain itu juga tercatat banjir yang kerap menyinggahi hampir semua kabupaten kota di Sumatera Barat.

“Kami juga mencatat kasus konflik satwa dengan manusia yang cukup tinggi. Sedikitnya lima ekor harimau berkonflik di beberapa tempat dan tiga ekor harimau sudah ditangkap oleh tim BKSDA,”kata Rudi.

Baca juga: Hutan Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara terancam habis 2043

Berdasarkan analisa Warsi, dalam rentang tiga tahun terakhir sejak 2017 hingga 2019 di Sumatera Barat, ada 293 desa yang mengalami bencana tanah longsor, 440 desa mengalami banjir, 100 desa mengalami banjir bandang, 145 desa mengalami kekeringan dan 145 desa diterpa kebakaran hutan.

Dilihat dari data ini, banjir dan longsor masih sangat mendominasi. Bahkan pada awal Februari 2020, intensitas hujan yang tinggi telah mengakibatkan delapan daerah di Sumbar dilanda banjir dan longsor. Delapan daerah ini meliputi, Kabupaten Solok, Sijunjung, Pasaman Barat, Lima Puluh Kota, Agam, Dharmasraya, Solok Selatan dan Kota Solok.

Baca juga: Alih fungsi kawasan hutan ancaman terbesar bagi harimau sumatera

Geografis Sumatra Barat dengan topografi perbukitan dan pegunungan dengan kelerengan di atas 10 persen menjadi salah satu faktor pemicu bencana yang terjadi.

Ditambah lagi dengan curah hujan yang tinggi, membuat kawasan ini rentan terhadap bencana banjir, longsor, kekeringan dan bencana alam lainnya.

Namun, ketika dielaborasi dalam perspektif yang lebih luas, selain faktor topografi dan kondisi geografi, bencana alam di Sumatra Barat beririsan langsung dengan akibat yang ditimbulkan dari deforestasi. Sumatra Barat merupakan daerah dengan luas kawasan hutan mencapai 2.342.893 hektare atau 55,39 persen dari luas wilayah administratifnya. Dari luas hutan itu, 791.671 hektare diantaranya merupakan kawasan dengan fungsi hutan lindung.

Sebagian masyarakat Sumatra Barat juga bergantung pada hasil hutan. Pada tahun 2018 ada 320 desa yang berada pada topografi wilayah lembah dan kelerengan, dengan 39.383 rumah tangga yang menggantung hidup pada sumber daya hutan. Potensi kawasan hutan yang melingkupi lebih dari separuh wilayah Sumatera Barat adalah modal sosio-ekologis yang harus dijaga keberlanjutannya.

Baca juga: Aktivis ingatkan risiko alih fungsi kawasan hutan di Bengkulu
Baca juga: WALHI: KLHK tertibkan alih fungsi hutan "mangrove" Langkat

 

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020