Pembantaian Rohingya pada 2017 itu dirancang Tatmadaw untuk menaikkan citranya yang terkikis Suu Kyi..., apalagi Tatmadaw beranggapan pemberontakan dan disintegrasi hanya bisa dihadapi oleh senjata.
Jakarta (ANTARA) - Sejak pemilu 2015, militer Myanmar telah merasa kekuasaannya bakal tergerus sehingga tidak bisa lagi menjadi kekuatan dominan dalam politik negara itu.

Pemilu tahun itu dimenangi oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang segera menyatakan prioritas pemerintahannya adalah menciptakan rekonsiliasi nasional.

Myanmar memang sulit berintegrasi, bahkan kesulitan mencari identitas nasional, karena sengitnya persaingan antar-etnis yang bahkan saling mempersenjatai diri. Ini sudah terjadi sejak Myanmar merdeka pada 4 Januari 1948.

Setidaknya ada 17 kelompok pemberontak bersenjata yang memperjuangkan otonomi dan bahkan kemerdekaan. Itu termasuk Arakan Army di Rakhine yang berpenduduk mayoritas etnis Rakhine yang sejak lama berperang melawan militer pemerintah pusat yang disebut Tatmadaw.

Di Rakhine, etnis-etnis minoritas termasuk Rohingya, terjebak antara Tatmadaw dan Arakan Army sampai pada 2013 sejumlah warga Rohingnya alumni Timur Tengah membentuk Arakan Rohingya Salvation Army.

Kelompok-kelompok etnis bersenjata ini sudah seperti organisasi tentara profesional yang dilengkapi persenjataan canggih seperti peluncur granat dan bahkan kendaraan tempur.

Bamar adalah etnis terbesar di Myanmar yang berjumlah 68 persen dari total penduduk. Sisanya adalah puluhan etnis minoritas, termasuk tujuh etnis minoritas besar; Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Arakan atau Rakhine, dan Shan.

Ketujuh etnis itu menjadi mayoritas di tujuh negara bagian Myanmar yang dinamai sama dengan nama ketujuh etnis itu. Selain itu, ada tujuh kawasan dan daerah khusus ibu kota Naypyidaw yang semuanya berpenduduk mayoritas Bamar.

Sebagian pasukan etnis minoritas itu sudah tidak aktif antara lain karena gencatan senjata. Tetapi integrasi nasional yang di Indonesia selesai tak lama setelah merdeka 17 Agustus 1945, tetap menjadi persoalan besar di Myanmar sampai kini.

Tak heran hal pertama yang ditempuh Suu Kyi setelah memenangkan pemilu 2015 adalah rekonsiliasi nasional sehingga mengesampingkan agenda lamanya mengamandemen konstitusi 2008 bentukan militer yang selain membuat Myanmar terbuka kepada dunia luar, juga memberi legitimasi kepada militer untuk terus mengendalikan politik nasional.

Legitimasi itu adalah jatah 25 persen kursi parlemen, tiga jabatan penting dalam kabinet (menteri pertahanan, menteri dalam negeri dan menteri perbatasan), dan ketentuan keluarga presiden dilahirkan di Myanmar sehingga Suu Kyi pun kesulitan menjadi presiden karena dia mempunyai suami warga Inggris dan anak-anak yang dilahirkan di Inggris.

Proyek rekonsiliasi Suu Kyi ini dikritik dikritik sejumlah kalangan karena mengesampingkan fakta bahwa Organisasi-organisasi Etnis Bersenjata (EAO) tidak akan mau berdamai tanpa amandemen konstitusi.

Baca juga: Kudeta Myanmar timbulkan keraguan atas impor bahan bakar
Baca juga: Bangladesh akan kirim 1.700 pengungsi Rohingya ke pulau rawan banjir
Baca juga: Indonesia serukan pendekatan dialog atas situasi politik di Myanmar


Selanjutnya: Konstitusi 2008 sebagai peta jalan menuju demokrasi

Copyright © ANTARA 2021