Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI Evita Nursanty meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk tetap mempertahankan pengaturan kewajiban Over the Top (OTT) asing untuk bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi Indonesia melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.

"Saya mendorong Menkominfo untuk berani tetap pada pendiriannya bahwa OTT global itu wajib bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi Indonesia. Jangan mau ditakut-takuti OTT asing dengan berbagai alasan, ini adalah kedaulatan kita untuk mengaturnya," kata mantan anggota Komisi I DPR RI yang kini duduk di Komisi VI DPR RI itu dalam pernyataannya, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, kedaulatan itu mencakup kedaulatan informasi dan keamanan data pribadi, kedaulatan dalam menjaga pertahanan negara, hingga kedaulatan ekonomi nasional melalui keberpihakan kepada OTT lokal dan operator nasional.

Ketika OTT asing mengembangkan jaringan sendiri, kata dia, maka kendali ada di tangan OTT, termasuk "big data".

Baca juga: Indonesia butuh aturan untuk melindungi data pribadi

"Ketidaktegasan dalam urusan ini dengan membiarkan OTT asing bermain sendiri akan memunculkan kerawanan di berbagai bidang. Saya sangat 'concern' dengan informasi dan keamanan data pribadi, serta khawatir merebaknya konten tidak bertanggung jawab dan segala bentuk kriminal lainnya yang bisa membahayakan bangsa ini. Ingat bahwa siapa yang menguasai informasi adalah pemenang di era digital ini. Itu sebabnya harus dikontrol, jangan kebablasan," katanya.

Menurut Evita, para pemain OTT global itu biasa memainkan isu pembatasan inovasi, menghalangi investasi, dan lainnya untuk melepaskan diri dari berbagai kewajiban mereka di negara lain.

Oleh karena itu, politikus PDI Perjuangan itu ingin aturan yang dibuat tegas dan tidak bersifat karet.

"Jangan ada opsi lain selain opsi 'wajib' bekerja sama bukan 'dapat' bekerja sama yang sifatnya karet. Mereka menikmati benefit dari kita dan wajar kalau kemudian Indonesia mendapat benefit yang lebih dari OTT global, ada 'equal playing field' dalam hal kontribusi ke pendapatan kas negara dalam bentuk pajak, retribusi, dan lainnya. Masak usaha kecil kita saja bayar retribusi bayar pajak, masak mereka nggak?" ujarnya.

Ia mengatakan kewajiban untuk bekerja sama dengan penyelenggaraan telekomunikasi itu juga agar status OTT global jelas, dan mereka menjalankan kewajibannya.

Baca juga: DPR: mana komitmen operator bangun jaringan nasional terkait penurunan biaya interkoneksi

"Tidak boleh terjadi OTT memegang kendali penuh atas platform dan infrastruktur digital," katanya.

Evita juga mengingatkan, di masa pandemi COVID-19 menunjukkan OTT global, seperti Google, Youtube, WhatsApp dan lainnya melonjak tinggi, di tengah ambruknya entitas bisnis lainnya.

Dalam kondisi seperti itu, Evita mempertanyakan kontribusi mereka terhadap negara atau penyedia jaringan di Indonesia.

"Saat banyak dunia usaha rontok dan menghadapi kesulitan besar karena tekanan pandemi ini, mereka malah makin berkembang. Ke depan pun kita melihat OTT ini akan makin berkembang karena memang semua semakin tergantung pada teknologi komunikasi dan informatika. Nah, saat itulah kita butuh ketegasan. Sekali lagi jika OTT ini tidak diatur maka potensi kerugian bagi pelaku usaha seperti operator telekomunikasi dan negara akan terus membesar," katanya.

Apalagi, kata dia, jika selama ini operator di dalam negeri merasa tidak adil atas layanan yang seharusnya mereka dilibatkan dan mendapat keuntungan tapi kenyataannya tidak memperoleh apa-apa, artinya pemerintah harus mendorong keadilan dan transparansi.

Baca juga: DPR mudahkan masyarakat sampaikan aspirasi dengan e-Parlemen

"Kasihan kalau sampai industri telekomunikasi nasional bangkrut, dan potensi anak anak bangsa kita yang berjuang untuk membangun OTT lokal menjadi terhalangi karena semua sudah dikuasai oleh OTT asing," kata Evita.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2021