Jakarta (ANTARA) - Penyuluhan dan edukasi kepada publik tentang gejala jangka panjang pasca-Covid-19 yang dapat mengganggu kesehatan dan produktivitas perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya mencegah penularan penyakit itu.

"Jadi sepertinya ini perlu sekali dibesarkan isu bahwa gejala jangka panjang Covid-19 ini ada," kata dokter umum lulusan Universitas Indonesia yang sedang menempuh pendidikan strata tiga kardiovaskular di Kobe University, Jepang, dr Adam Prabata, dalam bincang penyintas Waspada Long Covid-19 secara virtual di kanal Instagram @covidsurvivor.id, Jakarta, Jumat.

Dalam bahasa umum, gejalan jangka panjang pasca Covid-19 ini jamak disebut long haul Covid-19, yaitu gejala gangguan kesehatan jangka panjang yang muncul setelah penyintas Covid-19 dinyatakan sembuh dari penyakit itu.

Baca juga: Ahli: Antibodi penyintas COVID-19 bertahan tiga hingga delapan bulan

Pada para penyintas yang menderita gejala jangka panjang Covid-19 umumnya masih mengalami gangguan kesehatan, di antaranya sesak napas, batuk, cepat lelah, sehingga produktivitas mereka juga tetap menurun dalam jangka waktu yang panjang meski mereka telah dinyatakan bebas dari Covid-19.

Di Indonesia, jumlah penyintas gejala jangka panjang Covid-19 belum diketahui secara pasti sehingga masyarakat cenderung tidak mengetahui keberadaan gejala yang muncul pasca-Covid-19 itu.

Sementara dalam penanganan terhadap  gejala jangka panjang Covid-19, menurut dia, juga masih ditangani sesuai gejala yang muncul, tidak ditangani sebagai penyintas  gejala jangka panjang Covid-19.

Baca juga: Pandemi COVID-19 belum usai, penyintas sebut jangan abai prokes

Untuk itu, penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang  gejala jangka panjang Covid-19, menurut dia, perlu dilaksanakan pemerintah atau pihak-pihak terkait lain sehingga masyarakat bisa menjadi lebih sadar tentang perlunya upaya pencegahan Covid-19 lebih dini sehingga tidak sampai terkena  gejala jangka panjang Covid-19.

"Jadi mungkin (dengan edukasi) bisa bikin awarness orang meningkat. Apalagi kalau dibilang dari yang  gejala jangka panjang Covid-19 kerjanya menurun performanya. Itu bukan untuk menakut-nakuti, tapi faktanya memang begitu. Itu makanya penting bagi kita untuk melakukan pencegahan," kata dia.

Ia menyatakan, bagi pemerintah, terutama dalam penyediaan fasilitas kesehatan, hal ini perlu ditanggapi secara lebih serius. Dengan demikian penanganan yang bisa dilakukan bukan sekadar penanganan berdasarkan gejala yang muncul, tetapi juga penanganan yang lebih menyeluruh sebagai penyintas gejala jangka panjang Covid-19.

Baca juga: DKI berharap makin banyak penyintas COVID-19 berdonor konvalensen

"Maksudnya kalau ada orang dengan  gejala jangka panjang Covid-19 ya ditanggapi secara serius. Jangan sampai saya dengar curhat dianggap psikosomatis lagi. Jangan sampai dengar curhat dianggap enggak ada apa-apa atau cuma dianggap gejalanya, tapi tidak dipandang utuh sebagai penyintas  gejala jangka panjang​​​​​​​ Covid-19," katanya.

Kemudian bagi institusi pendidikan dan lembaga riset, fenomena  gejala jangka panjang Covid-19 itu juga perlu ditindaklanjuti dengan melakukan riset untuk mengungkap misteri  gejala jangka panjang​​​​​​​ Covid-19 itu sendiri.

"Jadi supaya kita bisa lebih tahu kondisi  gejala jangka panjang Covid-19 di Indonesia. Ini penting sekali untuk misterinya dibuka dengan riset," katanya.

Baca juga: IDI: Kekebalan kelompok lindungi masyarakat yang tidak divaksin

Pewarta: Katriana
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021