Ini sangat rawan, bisa memunculkan konflik di tengah masyarakat, apalagi pada era gital begini semua bisa direkayasa.
Jakarta (ANTARA) - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tidak yakin bahwa sengketa pertanahan, termasuk munculnya sertifikat ganda, akan selesai hanya dengan penerapan sertifikat elektronik sebab kunci penyelesaian masalah pertanahan terletak pada pembenahan SDM Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

"Saya melihat, yang perlu dibenahi adalah SDM. Kenapa? Karena masalah-masalah sertifikat ganda muncul karena oknum di Kementerian ATR/BPN," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Oleh karena itu, Junimart mengaku heran Menteri ATR/BPN hanya beralasan bahwa program Digitalisasi Pertanahan demi meminimalisasi kebocoran sertifikat ganda serta pembenahan akurasi batas tanah, sementara yang harusnya menjadi prioritas adalah persoalan pembenahan SDM.

Seharusnya, kata dia, upaya digitalisasi dikhususkan dahulu untuk internal BPN, yakni sebatas memastikan bahwa data kementerian sudah bersifat satu data.

"Jadi, ketika ada kasus sertifikat ganda, bisa ketahuan mana yang bukan produk BPN. Itu saja," ujarnya.

Junimart menyampaikan bahwa Komisi II DPR akan menjadwaIkan memanggil Kementerian ATR/BPN untuk mempertanyakan penerapan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.

"Apa tujuannya? Kalau cuma memenuhi UU Omnibus Law tidak harus," katanya menegaskan.

Hal yang serupa disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sulawesi Tengah Abdul Rachman Thaha bahwa Kementerian ATR/BPN seharusnya fokus menguatkan penindakan terhadap oknum-oknum internal BPN.

"Masih banyak tanah di berbagai daerah bermasalah, belum lagi mafia-mafia tanah yang terkadang melakukan penerbitan sertifikat ganda itu dilakukan dengan berkerja sama oleh oknum BPN. Ini sebenarnya bukan masalah baru," katanya.

Untuk itu, Thaha merasa perlu ada kajian lagi sebelum program sertifikat elektronik tersebut diterapkan untuk menghindarkan masyarakat dari masalah baru, misalnya masalah batas-batas tanah yang tidak sesuai dengan sertifikat fisik yang dimiliki masyarakat.

"Pihak ATR/BPN perlu mengedepankan asas kehatian-hatian untuk mengubah sertifikat fisik ke sertifikat elektronik. Ini sangat rawan, bisa memunculkan konflik di tengah masyarakat, apalagi pada era gital begini semua bisa direkayasa," katanya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021