Jakarta (ANTARA) - Penilaian harga lahan yang akan dibebaskan Pertamina maupun BUMN dan institusi Pemerintah untuk beberapa proyek strategis nasional tak bisa disamakan antara satu daerah dan daerah lain, ujar Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (KSPI MAPPI) Hamid Yusuf.

“Kondisional, tidak bisa disamakan. Penilaian harga lahan bisa lebih rendah atau lebih tinggi. Tetapi, penilaian tentu dilakukan secara objektif dan mengacu pada nilai pasar,” katanya di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, sangat lazim ketika warga memiliki ekspektasi bahwa lahan yang dimiliki akan dinilai tinggi, tetapi masyarakat juga harus mengetahui, bahwa dalam melakukan penilaian harga, Penilai Pertanahan sudah memiliki standar sehingga penilaian harga lahan selalu dilakukan dengan objektif.

Baca juga: Harga tanah dan kebutuhan lahan untuk hunian di DKI

Sebelumnya, para pemilik lahan di Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu Jawa Barat meminta kepada Pertamina agar ganti rugi yang mereka terima tidak jauh dengan masyarakat di Tuban, Jawa Timur. Mereka berharap, BUMN tersebut bisa menaikkan harga lahan mereka.

Hamid menyatakan dalam melakukan penilaian pihak Penilai Pertanahan mengacu pada dua komponen, yaitu fisik dan non fisik. Fisik bisa meliputi tanah, bangunan, tanaman, dan sebagainya, sedangkan non fisik, juga diperhitungkan faktor solatium, yaitu hubungan emosional dengan rumah yang akan dibebaskan.

Dia mencontohkan, rumah yang akan dibebaskan memiliki sejarah karena sudah dihuni selama 30 tahun, tentu ada perhitungan kerugian emosionalnya, begitu pula jika punya warung atau kegiatan usaha, tentu menjadi faktor penilaian juga.

Baca juga: Bahlil: Harga tanah di kawasan industri tak lebih dari Rp200 ribu/m2

"Jadi, semua ada hitungannya. Termasuk kompensasi biaya pindah,” jelasnya.

Di sisi lain, Hamid juga menegaskan bahwa pemilik proyek sebagai pembeli lahan, seperti Pertamina, sama sekali tidak terlibat dalam proses penilaian terhadap lahan yang akan dibebaskan untuk proyek strategis nasional, karena sesuai konsiderasi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, penilaian lahan dengan skala besar yaitu di atas lima hektare, dilakukan Penilai Pertanahan.

“Jadi yang menilai harga lahan adalah Penilai Pertanahan yang berada dalam wadah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Bukan Pertamina,” katanya.

Dalam hal ini, lanjutnya, Pertamina hanya bertindak sebagai pemberi tugas, sedangkan hasil penilaian, akan dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagai pengguna jasa Penilai.

Izin Penilai Pertanahan, menurut Hamid, dikeluarkan Kementerian Keuangan dan mendapat lisesnsi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Dengan demikian, selain Penilai Pertanahan, memang tidak ada pihak lain sebagai penilai harga lahan untuk kepentingan umum,” kata dia.
 

Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021