Kami melihat secara umum tahun 2021 masih penuh dengan tantangan, namun tentu akan lebih baik dari 2020
Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean memprediksi perekonomian domestik pada 2021 akan tumbuh positif mencapai 3,9 persen setelah pada tahun lalu terkontraksi akibat pandemi.

Menurut Adrian, kenaikan tersebut akan mulai tampak dari geliat perekonomian pada kuartal pertama 2021 sebesar 0,8 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

"Kami melihat secara umum tahun 2021 masih penuh dengan tantangan, namun tentu akan lebih baik dari 2020. Proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun ini kami dasarkan atas lima faktor yang mempengaruhi dinamika perekonomian 2021. Dua faktor pertama bersifat mendukung angka pertumbuhan yang lebih tinggi, sedangkan tiga faktor lainnya bersifat menahan prospek laju pertumbuhan ekonomi di 2021," ujar Adrian dalam diskusi daring dengan awak media di Jakarta, Kamis.

Adrian menuturkan, faktor pertama, yaitu efek basis dasar (base-effects) yang menjelaskan sekitar tiga-perempat dari narasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021. Adapun sisanya diterangkan oleh normalisasi perekonomian di Pulau Jawa yang mencakup hampir 60 persen dari total PDB Indonesia yang ditopang oleh sektor keuangan, telekomunikasi, infrastruktur publik melalui alokasi APBN, dan kesehatan. Hal itu sejalan dengan dimulainya program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Faktor kedua, lanjut Adrian, adalah prospek dorongan likuiditas lewat stimulus fiskal terutama belanja modal yang didukung oleh penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) ke arah 3,5 persen yang kini telah terealisasi minggu lalu. Khusus terkait pelonggaran moneter, ke depan sebaiknya BI-7DRRR tidak diturunkan lagi ke bawah 3,5 persen.

"Hal ini penting karena dua alasan yaitu pertimbangan eksternal terkait masih sangat besarnya ketidakpastian arah pergerakan aset global di 2021 yang pasti akan berdampak pada stabilitas rupiah. Selain itu, dari sisi domestik untuk menjaga agar monetary tank tidak terlalu kosong, sehingga dapat mencegah munculnya komplikasi saat akan dilakukannya normalisasi moneter pasca 2022-2023," kata Adrian.

Adapun faktor ketiga yaitu terhambatnya dorongan fiskal oleh kelambanan tata administratif (business processes) sehingga pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya akan mencapai maksimum 85-90 persen dari yang telah dianggarkan. Adapun dari sisi penerimaan, APBN juga akan terkendala oleh kurangnya penerimaan pajak sebagai akibat dari belum pulih sepenuhnya kondisi perekonomian dan berbagai insentif penurunan pajak yang telah dan akan diberikan.

"Kendala sisi penerimaan dan keperluan untuk menjaga arus kas APBN berpotensi menghambat efektivitas dari rencana stimulus fiskal," ujarnya.

Faktor keempat adalah masih adanya kendala mobilitas manusia yang merupakan konsekuensi dari berkepanjangannya pandemi di 2021, sehingga akan menyebabkan belum signifikannya ekspansi produksi. Menurut Adrian, masih terkendalanya mobilitas manusia dipicu relatif rendahnya kecepatan program vaksinasi di Indonesia yang hingga akhir tahun 2021 diperkirakan belum akan mencapai target.

"Artinya, prospek belum akan terbentuknya herd immunity berpotensi menyebabkan perusahaan belum berani menggenjot produksinya secara maksimal pada tahun ini, selain rumah tangga yang masih akan menahan belanjanya," kata Adrian.

Adapun faktor kelima berasal dari pengurangan belanja modal (capital expenditure atau capex) yang masih akan berlanjut pada 2021. Paling tidak, menurutnya, hal itu akan terus terjadi di segmen korporasi swasta. Implementasi proyek infrastruktur dari belanja modal APBN kemungkinan besar akan menghadapi tantangan dari belum akan terciptanya kekebalan komunal atau herd immunity.

Rendahnya capex di 2020 telah berdampak pada turunnya angka potential output di 2021. Belum terciptanya secara optimal kombinasi antara capex swasta dan capex pemerintah di tahun ini, juga berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi pada 2022.

"Terkait tenaga kerja, bila kita belajar dari episode krisis kita sendiri (1998) dan krisis di negara-negara lain, pekerja yang terlalu lama dirumahkan akan cenderung kesulitan memperoleh kembali pekerjaannya. Pola ini berpotensi terulang di 2022, terlebih saat bisnis semakin mengarah kepada moda digital atau bahkan penggunaan artificial intelligence yang lebih marak," ujar Adrian.

Dari perspektif tersebut, Adrian melihat hanya tersisa tiga katalis yang diharapkan berperan sebagai game changer. Ketiganya yaitu implementasi dari Omnibus Law Cipta Kerja mulai bulan Februari 2021, kehadiran Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang diharapkan mampu berfungsi penuh dan siap menjalankan operasi investasinya pada Maret 2021, serta urgennya kebutuhan akan rekonstruksi struktur kelembagaan keuangan serta penyesuaian terhadap model pembiayaan pembangunan, misalnya dalam bentuk mobilisasi dari long-term savings.

Kendati masih penuh tantangan besar, Adrian melihat peluang pertumbuhan ekonomi tahun 2021 masih dapat dioptimalkan. Salah satu upaya untuk menjaga pertumbuhan tersebut yaitu pentingnya kebijakan yang konsisten, komprehensif, mendetil, dan sistematis, termasuk dalam cara penanggulangan COVID-19.

"Tentu, kebijakan tersebut juga perlu didukung oleh semua pihak, sehingga pandemi dan efeknya perlahan dapat diatasi dan ekonomi Indonesia dapat tumbuh sesuai rencana," kata Adrian.

Baca juga: Investasi geser ke luar Jawa, Presiden sebut itu modal untuk bangkit
Baca juga: Presiden ungkap syarat agar pertumbuhan ekonomi RI melebihi prediksi

Baca juga: Presiden Jokowi ajak bersatu wujudkan prediksi ekonomi positif 2021
 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021