Jakarta (ANTARA) - Perdebatan mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus bergulir antara pihak yang menginginkan revisi dan menolak revisi.

Pada dasarnya kedua belah pihak sepakat Undang-Undang ITE masih diperlukan untuk memastikan ruang digital tetap bersih dan beretika, tidak kebablasan dengan dalih kebebasan berpendapat.

Semangat awal Undang-Undang ITE memang untuk menjaga agar media sosial dan internet tidak seperti rimba belantara, meskipun juga sempat dikritik akan dapat mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Seiring perjalanan waktu, pelaksanaan Undang-Undang ITE beberapa kali dianggap telah mencederai kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat. Atas dasar melanggar Undang-Undang ITE, seseorang dapat dipidana.

Apalagi, kemudian terbit surat Kepala Polri tentang pemidanaan terhadap pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.

Data dari SAFEnet menyebutkan pemidanaan terhadap jurnalis dan media menggunakan Undang-Undang ITE paling banyak terjadi pada 2018 dan 2019. Sejumlah pasal yang dianggap "karet" dan multitafsir menjadi "alat" bagi sebagian pihak untuk memidanakan jurnalis dan pegiat media sosial.

Pasal-pasal "karet" yang multitafsir tersebut dianggap sebagai kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Menurut Pakar hukum Universitas Parahyangan Prof Asep Warlan Yusuf, sebuah norma hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman tanpa mengabaikan kepastian hukum serta memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama pada tingkat penaatannya.

Norma hukum juga harus dikerangkakan dalam kondisi siap uji secara objektif, dan memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati, serta dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam proses pembuktian.

Dengan demikian, sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain, warga masyarakat tidak boleh khawatir untuk menjalankan apa yang diyakini sebagai kebenaran dan mengembangkan bakat kesenangannya serta merasa diperlakukan secara wajar, berperikemanusiaan, adil, dan beradab sekalipun saat melakukan kesalahan.

Terkait dengan pasal-pasal pada Undang-Undang ITE yang dianggap multitafsir, Asep mengatakan rumusan normanya memang diperlukan tetapi dalam pelaksanaannya berpeluang disalahgunakan dan dijalankan sewenang-wenang.

Pasal-pasal "karet" tersebut menggunakan rumusan norma yang terbuka sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang tinggi. Menurut Asep, norma hukum harus benar-benar dirumuskan dengan jelas dan nyata, tidak samar, dan tidak pula menimbulkan banyak penafsiran.

Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat memungkinkan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya secara mudah di dunia digital. Tidak hanya itu, dunia digital juga dimanfaatkan mereka-mereka yang berkepentingan untuk membangun dan memanipulasi opini publik di media digital.

Sejak 2012 telah muncul propaganda komputasional yang digunakan oleh aktor-aktor politik di berbagai negara untuk memanipulasi opini masyarakat melalui jejaring media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube.

Propaganda komputasional juga telah memunculkan pasukan siber, yaitu tim siber yang digunakan pemerintah, militer, atau partai politik di seluruh dunia untuk mengembangkan atau memanipulasi opini masyarakat melalui media sosial.

Tim siber, yang juga kerap disebut buzzer atau pendengung, bisa dimiliki oleh berbagai pihak baik pihak pemerintah, pihak oposisi, pihak tengah, maupun pihak di luar sistem.

Buzzer itulah salah satu fenomena di media digital yang perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang ITE.

Baca juga: Revisi UU ITE perlu pertimbangan di tengah pesatnya pengguna

Perlu direvisi
Karena itu, Undang-Undang ITE perlu direvisi. Kebebasan berpendapat di media digital harus tetap dijamin, tetapi tetap perlu diatur agar tidak kebablasan.

Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan Undang-Undang ITE harus direvisi untuk mengembalikan semangat awal menjaga ruang digital tetap bersih dan beretika dengan tetap mengusung prinsip demokrasi dan kebebasan pers.

Menurut Sukamta, masyarakat berharap revisi Undang-Undang ITE dapat membawa keadilan dan kenyamanan bagi kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dalam bingkai demokrasi Pancasila.

"Masyarakat harus memiliki literasi digital dan cerdas dalam bermedia sosial, selektif dalam membuat konten, tidak mudah menerima informasi atau berita yang belum jelas, dan tidak melontarkan konten yang memuat permusuhan dan kebencian," katanya.

Di sisi lain, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berharap pemerintah bijak dan adil dalam menindaklanjuti setiap laporan kasus Undang-Undang ITE. Wacana revisi Undang-Undang ITE jangan hanya menjadi langkah politik saja tetapi harus terwujud.

Sementara itu, Direktur Drone Emprit Ismail Fahmi mengatakan harapan publik atas revisi Undang-Undang ITE sangat besar.

"Nuansa rasa takut atas Undang-Undang ITE dirasakan oleh publik," ujarnya.

Ismail mengatakan masyarakat menyambut baik ketika Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan yang membuka peluang revisi terhadap Undang-Undang ITE.

Baca juga: Pakar: UU ITE masih dibutuhkan tapi perlu direvisi

Bila dilihat dari peta analisis jejaring sosial di internet, dukungan dan pertentangan terhadap revisi Undang-Undang ITE memiliki korelasi kuat antara klaster pro pemerintah dan klaster nonpemerintah yang terdiri atas publik, pegiat, oposisi, dan lembaga swadaya masyarakat.

Klaster pro pemerintah cenderung kontra revisi Undang-Undang ITE, sedangkan klaster nonpemerintah cenderung prorevisi.

Menurut Ismail, media memiliki peran penting dalam membangun percakapan dan narasi terkait isu revisi Undang-Undang ITE di kalangan publik.

Berdasarkan analisis emosi terhadap pernyataan Presiden Jokowi agar masyarakat mengkritik pemerintah dan revisi Undang-Undang ITE, masyarakat cenderung ragu bahkan tidak percaya hal itu akan dapat dijalankan.

"Karena itu, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk serius menindaklanjuti pernyataan Presiden Jokowi, tidak hanya dengan membuat petunjuk pelaksanaan, tetapi dengan merevisi Undang-Undang ITE sebagaimana masukan dari banyak pihak," katanya.

Terkait dengan revisi Undang-Undang ITE, pakar hukum Universitas Parahyangan Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan revisi tersebut harus menghadirkan kedamaian bagi masyarakat.

"Kedamaian yang sejati akan terwujud ketika setiap warga masyarakat dapat merasakan ketenteraman lahir batin," katanya.

Menurut Asep, ketenteraman akan didapat bila setiap anggota masyarakat merasa yakin kelangsungan hidup kewargaan dan pelaksanaan hak warga negara tidak bergantung pada kekuatan semata.

Baca juga: Pakar: Revisi UU ITE harus hadirkan kedamaian

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021